Jumat 05 Jun 2020 16:52 WIB
Islam

Islam di Jawa: Sultan Agung Mendamaikan Tradisi dan Islam

Sultan Agung Mendamaikan Tradisi Jawa dan Islam

Ajang pengadilan di Karton Yogyakara pada tahun 1880 yang dipimpun Sultan.
Foto: gahetna.nl
Ajang pengadilan di Karton Yogyakara pada tahun 1880 yang dipimpun Sultan.

REPUBLIKA.CO.ID,-- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Jangan bayangkan Islamisasidi Jawa datang dalam waktu semalam. Semua itu membutuhkan proses dalam waktu yang sangat panjang.  Bahkan kalau dhitung sudah lebih dari 5000 tahun.

Jejak ini misalnya terlacak dari kajian sejarawan kondang asal Australia, MC Ricklefs. Dia meneliti sejarah yang panjang ini dengan bukunya yang legendaris 'Mengislam Jawsa'. Dalam buku itu tergambar betapa mahal sekaligus susahnya memeksiskan Islam di Jawa yang sebelumnya menganut agama lain, yakni Hindu.

Dalam tulisan berikut dia mengisahkan tentang kiprah Sultan Agung di dalam 'menyatukan' agama Islam dan kultur keyakinan orang Jawa. Dia misalnya menyebut dirinya dengan Sultan yang dimintanya dari seorang 'Syarif' Makkah yang merupakan orang yang diberi kuasa Sultan Turki Ottoman untuk mengurus tanah suci. Dengan kata lain, Sultan Agung ingin juga berlindung dibalik kebesaran Turki saat itu yang selama ini telah dilakukan semenjak berdirinya kerajaan Demak. Di sini gelar Sultan oleh Pangeran Rangsang (nama muda Sultan Agung) tak mau lagi punya gelas seperti raja Majapahit yakni Susuhunan.

Peran lain dari Sultan Agung di dalam 'mengislamkan Jawa' adalah meleburpenangalan Jawa yang terpengaruh sistem India dengan penanggalan Islam atau hijrah. Maka nama hari di jawa dalam sepekan yang terdiri dari lima, kini menjadi tujuh. Dan kisah soal Islamisasi di Jawa itu seperti ini:

-----------------

Pada awal abad ke-17,  dinasti yang berkuasa di Jawa adalah dinasti Maratam (yang wilayahnya meliputi daerah Yogyakarta sekarang), Di sana, raja terbesar  dari era pasca Majapahit adalah Sultan Agung (1613-1646), mempertemukan dan mendamaikan kraton dan tradisi-tradisi Islam.

Sultan Agung tidak lantas memutus begitu saja hubungan mistisnya dengab penguasa rohani tertinggi yang diyakini masyarakat Jawa Tengah (yang tentu saja tidak bersifat Islamik), Ratu Kidul (Ratu Pantai Selatan), tetai dia juga mengambil langkah tegas untuk menjadikan kerajaannya lebih Islamik.

Pada 1633, Sultan Agung berziarah ke Tembayat, di mana ditemukan makam Sunan Bayat, yang dipandang sebagai wali yang memperkenalkan Islam di wilayah kerajaan Mataram dan kompleks makamnya telah menjadi pusat perlawanan terhadap pemerintahannya, yang kemudia dia tumpas. Sultan mengajarinya ilmu-ilmu mistik rahasia: dengan demikian kekuasan Bayat pun kini berhubungan dengan monarki Mataram.

Sultan Agung dari Mataram - Wikipedia bahasa Indonesia ...

  • Keterangan foto: Sultan Agung Hanyokusumo.(gambar:wordpers.com)

Sultan Agung juga meninggalkan sistem penanggalan Jawa kuno, Saka, yang bergaya India serta menggantikannya dengan sistem penanggalan Jawa hibrid yang menggunakan penanggalan hijrah, tindakan yang memberinya kekuasaan secara super natural. Dia berdamai dengan keluarga bangsawan dari Surabaya, yang menjadi penentang terbesarnya tatkala dia membangun kerajaannya dengan cara menikahkan salah satu adik perempuannya dengan salah satu pangeran dari Surabaya yang masih tersisa, yang bila dirunut asal-usulnya merupakan keturunan salah seorang wali yang paling senior.

Dengan, bantuan pangeran ini, Sultan Agung memperkenalkan karya-karya literatur besar, yang diinspirasi ajaran Islam dalam khazanah literer istana yangd diyakini memiliki kekuatan magis. Salah satu karya ini, Kitab Usulbiyah, yang mengklaim bahwa membaca atau menulisnya  setara dengan menggenapi dua dari lima rukun Islam –- melakukan peziarahan ke Makkah serta memberi amal sedekah—dan juga pergi berjihad. Dalam karya ini, Nabi Muhammad SAW digambarkan mengenakan mahkota emas dari Majapahit, dan, dengan demikian, gambaran tersebut mempersatukan simbol kekuasan besar: Islam dan Jawa.

Rekonsilasi antara identitas Islamik dan tradisi kerajaan Jawa yang digagas Sultan Agung ini tidak dilanjutkab dengan antusiasme yang sama besarnya oleh para penerusnya. Selama beberapa dasawarsa, sebagian besar pemberontaan terhadap dinasti tersebut menggunakan nama Islam sebagai justifikasi mereka.

Dari tahun 1670-an, orang Madura, Makassar, dan bukan Jawa lainnya terlibat di dalam perang-perang di Jawa. Dinasti yang sedang terkepung tersebut berpaling ke VOC (Perusahaan Dagang Hindia Belanda) untuk mendapatan bantuan militer. Intervensi VOC memang memungkinkan dinasti itu bertahan, tetapi hal yang sama memperkuat aspek religius dari pemberonatakan yang ada –sebab kini para musuh dinasti Mataram bisa melihat bahwa kerajaan tersbut didukung kaum kafir – selain bahwa ia juga memainkan peran yang besar dalam kebangkrutan perusahaan itu menjelang akhir abad ke-18.

Setelah beberapa dasawarsa perang sipil yang mana meruigikan di mana identitas religus memaikan peran besar, rekonsilasi kedua kraton Mataram dan kesadaran Islamik terjadi semasa kekuasaan Pakubuwana II (berkuasa 1726-1749). Penggerak utamanya di sini adalah nenek seorang raja muda yang telah sepuh, buta, namun seorang sufi yang saleh bernama Ratu Pakubuwana (lahir 1657, meninggal 1732). Terilhami oleh teladan Sultan Agung, Ratu Pakubuwana memerintahkan penulisan kembali versi baru dari karya-karya yang diyakini punya kekuatan magis besar selama masa pemerintahan Sultan tersebut.

  • Riwayat Pakubuwono II (3): Kraton Solo Didirikan, 29 Putra-Putri ...

    Keterangan foto: Ilustrasi suasana kerajaan pada Pakubuwana II. (gambar:word pers.com)

Di dalam dalam kata pengantar kitab-kitab versi baru tersebut, Ratu Pakubuwana menegaskan bahwa dirinya secara khusus diberkahi  Tuhan dan bawa kitab-kitab itu akan memancarkan kekuadan adikodrati yang akan menuntunnya meuju kesempurnaan serta memperkokoh kekuasaan cucunya, menjadikan Pakubuwana II menjadi seorang raja sufu yang ideal.

Ada berbagai upayayangdibuat pihak kratin untuk menjadikan masyarakat menjadi lebih saleh dan Islami. Masyaraat diperintah untk rajin datang ke masjid unuk beribadah pada hari Jumat, judi dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum di istana (kecuali sabung ayam) dan ada bukti bahwa tangan pencuri dipotong. Namun demikian doktrin pra Islam, karya sastra dan praktik lain tetap dipertahankan di Istana, tetapi kini sepenuhnya dipahami sebagai sesuatu yang sepenuhnya Islami. Proyek Islamisasi ini juga idionisinkratis dalam hal-hal lain. Madat (secara teori) dilarang, namun selera kaum bangsawan terhadap anggur, minuman, dan bir dari Eropa secara kasat mata dibiarkan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement