REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Nafkah menjadi kebutuhan primer kehidupan, terutama dalam rumah tangga. Kewajiban memberi nafkah dilakukan muslim dewasa untuk wanita yang telah diikatnya dalam pernikahan.
Ustazah Maharati Marfuah, Lc dalam bukunya "Hukum Fiqih Seputar Nafkah" mengatakan, nafkah bisa dibagi dua bagian. Nafkah kepada diri sendiri dan nafkah kepada orang lain.
Nafkah kepada orang lain bisa dikembangkan menjadi tiga yakni kepada istri, kerabat dan benda milik. Pertama nafkah untuk diri sendiri yang paling utama untuk diberi nafkah.
Sebelum membari nafkah kepada orang lain, hendaknya seorang memberikan nafkah dahulu kepada dirinya. Hal ini sebagai hadits Rasulullah SAW. "(Gunakanlah ini) untuk memenuhi kebutuhanmu dahulu, maka bersedekahlah dengannya untuk
(mencukupi kebutuhan) dirimu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada keluargamu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada kerabatmu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada ini dan itu.” (HR Muslim).
Dalam hadits lain, memenuhi nafkah untuk diri sendiri termasuk bentuk sedekah. Sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad: "Dari Miqdam bin Madikarib berkata, Rasulullah bersabda: “Sesuatu apa pun yang Engkau berikan sebagai makanan kepada dirimu, maka itu merupakan sedekah. Demikian pula yang Engkau berikan sebagai makanan kepada anakmu, istrimu, bahkan kepada budakmu, itu semua merupakan sedekah.” (HR. Ahmad).
Kedua Nafkah untuk Istri. Ustazah Maharati Marfuah mengatakan para ulama menyebutkan bahwa sebab nafkah wajib kepada orang lain karena tiga hal; zaujiyyah atau pernikahan, qarabah atau kerabat, milkiyyah atau kepemilikan.
Nafkah karena ikatan pernikahan ini adalah pemberian nafkah karena ikatan pernikahan yang sah. Bukan saja terjadi karena pernikahan yang masih utuh, tetapi juga pernikahan yang telah putus atau cerai dalam keadaan talak raj'i dan talak ba'in hamil. Dalilnya adalah sebuah Alquran an-Nisa ayat 34 yang artinya.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
Hukum memberi nafkah dari suami kepada istri adalah wajib. Nafkah isteri di sini adalah kewajiban suami terhadap isterinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi.
Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual isteri tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya.
"Kata yang selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin sedangkan dalam bentuk materi disebut dengan nafkah lahir," katanya.
Dalam bahasa yang tepat nafkah ini tidak ada lahir atau batin, hanya nafkah yang maksudnya adalah hal-hal yang bersifat lahiriyah atau materi. Untuk bentuk nafkah dari pernikahan yang telah putus atau cerai dalam keadaan talak raj'i dan talak ba'in hamil, menurut Malikiyyah dan Syafi'iyyah hanya dibatasi berupa nafkah tempat tinggal saja.
Sementara, hubungan kekerabatan termasuk menjadi salah satu sebab wajibnya nafkah. Hanya saja mereka berbeda pendapat terkait kerabat bagian mana yang wajib dinafkahi. Bahkan hampir tiap mazhab memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam masalah ini.
Misalnya, wahbah az-Zuhaili meringkas pendapat itu sebagai berikut: Kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa kerabat yang berhak mendapatkan nafkah hanya pada hubungan orang tua dan anak (al-wâlid wa al-walad). Syâfi'iyyah berpendapat bahwa nafkah diberikan kepada hubungan orang tua dan anak serta cucu dan kakek (ushûl dan
furu').
Adapun Hanâfiyyah berpendapat, yang mendapat nafkah karena kerabat bukan saja ushul dan furu' akan tetapi juga pada jalur ke samping (hawâsyi) dan dzawi al-arhâm. Sedangkan Hanâbilah berpendapat lebih umum lagi asalkan pada jalur nasab.