REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Amerika Serikat (AS) akan kembali membuka kantor konsulatnya di Wuhan, China setelah ditutup selama kurang lebih tiga bulan karena pandemi virus corona. Virus tersebut pertama kali muncul di Wuhan pada Desember 2019, serta telah menyebar ke setidaknya 188 negara dan wilayah.
"Kami akan melanjutkan operasional kami di Wuhan dalam waktu dekat," ujar Penasihat untuk Urusan Publik Kedutaan AS di China, Frank Witaker, tanpa memberikan tanggal yang spesifik.
Departemen Luar Negeri AS menarik staf konsulat beserta keluarganya pada akhir Januari setelah pemerintah China mengunci kota itu untuk mencegah penyebaran virus. Wuhan telah mencabut pembatasan dan warganya dibolehkan untuk beraktivitas kembali. Virus corona diduga berasal dari hewan yang dijual di pasar basah di kota tersebut. Wuhan menyumbang 80 persen kematian akibat virus corona secara nasional.
Wuhan dinyatakan sebagai kota yang aman dari virus corona setelah dilakukan pengujian terhadap 10 juta penduduknya. Dari hasil pengujian, ditemukan 300 kasus positif tanpa gejala.
Sementara, dari 1.174 orang yang melakukan kontak langsung dengan pasien virus corona hasil tesnya negatif. Wakil Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina, Feng Zijian mengatakan, hasil tes massal tersebut memberikan ketenangan kepada penduduk Wuhan.
"Itu tidak hanya membuat orang-orang Wuhan merasa tenang, tetapi juga meningkatkan kepercayaan diri orang-orang di seluruh Cina," ujar Feng.
Anggota tim ahli Komisi Kesehatan Nasional, Li Lanjuan mengatakan, Wuhan telah menyelesaikan 9,9 juta tes dari 14 Mei hingga 1 Juni. Jika jumlah pengujian sebelumnya digabungkan maka 11 juta penduduk Wuhan telah dites virus corona.
"Kota Wuhan aman," ujar Li.
Uji coba massal di Wuhan dimulai setelah kasus virus corona ditemukan di kompleks perumahan. Hal itu memicu kekhawatiran munculnya gelombang kedua, ketika kota tersebut mulai melonggarkan lockdown. Uji coba massal itu menelan biaya sekitar 900 juta yuan atau 125 juta dolar AS.