REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ormas Islam Muhammadiyah secara tegas menyatakan keberatannya akan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Setelah membaca draf RUU, Muhammadiyah menilai tidak ada unsur mendesak yang membuat RUU ini harus dibuat saat ini juga.
"Menurut saya, dan kajian Muhammadiyah, RUU HIP ini tidak bersifat urgent. Dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan berikutnya. Karena kami mencermati pasal-pasalnya, semua sudah ada dalam pembahasan UU yang lain serta dalam Ketetapan MPR (TAP MPR)," ujar Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, saat dihubungi Republika, Ahad (14/6).
Ia lantas menyebut, mengacu pada UU No 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan, khususnya pada pasal 5 dan 6 telah disebutkan bagaimana kriteria membuat sebuah undang-undang. Dalam dua pasal tersebut tertulis, sebuah rancangan UU harus memenuhi prinsip asas kesesuaian dan kedayagunaan dan hasil kegunaan. Undang-undang juga harus memenuhi asas pengayoman dan kepastian hukum.
"Maka janganlah kita membuat suatu UU atau RUU yang justru membuat bangsa ini kehabisan energi untuk memperdebatkan sesuatu yang sebetulnya sudah selesai," kata dia.
Abdul Mu'ti menegaskan jika pembahasan mengenai ideologi Pancasila dan sejarahnya merupakan suatu hal yang telah selesai. Proses sejarah ini harusnya disimpan sebagai bagian dari catatan sejarah.
Jika hal-hal serupa kembali diangkat dan dibahas, ia menyebut akan membuka polemik berdarah yang harusnya sudah diakhiri. Ketika sudah dirumuskan Pancasila sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 dan dikukuhkan dengan berbagai Ketetapan MPR, maka urusan sejarah telah selesai.
Tugas bangsa Indonesia saat ini adalah membuat sejarah baru. Namun, bukan dengan cara menggugat atau memunculkan kembali perdebatan lama yang sudah puluhan tahun.
Ia menyebut sejarah yang harus dibuat adalah menunjukkan bahwa dengan Pancasila, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Serta berbagai macam cita-cita seperti yang dirumuskan dalam produk UU bisa terwujud.
"Itulah tugas negara masa depan yang jauh lebih penting dari pada membuka lembaran sejarah masa lalu yang sudah selesai dan berpotensi membuka konflik. Bahkan, ini bisa memunculkan perdebadan ideologis yang kontraproduktif dan sangat tidak kita perlukan dalam kondisi bangsa saat ini," ujarnya.