REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertahanan (Kemenhan) ingin meningkatkan ketahanan pangan guna mengantisipasi munculnya dampak serangan wabah penyakit di masa depan. Hal ini karena WHO menyatakan virus baru itu terus bermunculan.
"Jadi, seandainya pandemi Covid-19 ini usai, tak menjamin di masa depan wabah penyakit baru tak muncul. Karena itu indikator ketahanan pangan harus kita tingkatkan di masa depan untuk mengantisipasi serangan wabah penyakit," kata Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta, Kamis (18/6).
Trenggono menyampaikan itu dalam Webinar yang digelar IA ITB Jawa Timur dengan tema "Penguatan Pangan & Kesehatan Rakyat Sebagai Basis Ketahanan Negara Pasca Pandemi". Menurut Trenggono, jika sebuah pandemi terjadi yang berujung kepada krisis seperti yang ada sekarang, ada beberapa hal ang paling rentan terkena dampaknya.
Pertama, lanjut dia, di sektor pekerjaan, muncul pengangguran karena kegiatan ekonomi dipaksa berhenti. Kedua, masalah ketersediaan pangan. Ketiga, ketahanan kesehatan.
"Kalau ketiga hal ini tak bisa dikelola dengan baik bisa berpengaruh kepada ketahanan dan kedaulatan negara secara keseluruhan. Karena itu semua elemen bangsa perlu bekerja sama secara serius melawan ancaman pandemi agar ketahanan nasional terjaga," katanya.
Wamenhan memaparkan untuk sektor pangan, komoditas yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah beras, gula, terigu, dan kedelai. "Beberapa komoditi seperti beras dan gula itu perlu perhatian kondisi cadangannya. Di samping itu sekarang ada pergeseran di mana Indonesia pengkonsumsi mie terbesar kedua di dunia. Ini membuat kita impor gandum tinggi, begitu juga kedelai," katanya.
Dia menjelaskan, jika pandemi diibaratkan dengan suasana perang maka dibutuhkan peralatan tempur yang kuat untuk melawan.
"Peralatannya disini salah satunya cadangan pangan yang panjang. Sekarang itu di komoditas beras kita hanya kuat untuk 69 hari, bandingkan dengan India yang bisa setahun. Karena itu kami dari Kemhan sedang mengajukan satu model yang bisa meningkatkan ketahanan pangan nasional," kata Trenggono.
Ia menyebutkan, strategi yang dipilih adalah membuat lahan khusus untuk ketahanan pangan nasional. Mengutip kajian yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ada 16,6 juta hektar kawasan hutan non-hutan layak dikonversi menjadi lahan pertanian produktif. Sebagian besar lahan ada di Papua, disusul Kalimantandan Sumatera.
"Kita ingin mengoptimalkan lahan ini agar tidak menjadi 'opportunity loss' bagi negara. Rasionalisasi kawasan hutan adalah faktor penting bagi kelestarian pengelolaan hutan dan menjadi 'enabler' untuk pembangunan nasional," tuturnya.
Trenggono berharap jika rencana pengadaan lahan pangan ini terealisasi bisa menyumbang sekitar 20 persen bagi cadangan pangan nasional nantinya. "Kita pastikan ini memang untuk ketahanan pangan, jadi kawasan yang dipilih tidak boleh berubah fungsi dari kawasan tanaman pangan yang akan kita kembangkan," demikian Wamenhan Sakti Wahyu Trenggono.