REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakin majelis hakim tidak akan memberikan status justice collaborator (JC) kepada mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi. Terkait pencabutan hak politik Imam Nahrawi, KPK menyerahkan hal tersebut ke majelis hakim.
"Mengenai permohonan JC, KPK meyakini mejelis hakim tidak akan mengabulkan permohonan terdakwa," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri saat dikonfirmasi, Ahad (21/6).
Ihwal permintaan Nahrawi agar tidak dicabut hak politiknya, Ali menegaskan bahwa tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) mengenai hak politik sudah melalui pertimbangan berdasarkan fakta di persidangan. Namun, sambung Ali, kedua hal tersebut (JC dan pencabutan hak politik) sepenuhnya menjadi wewenang majelis hakim saat membacakan putusan untuk Politisi PKB tersebut.
"Karena acara berikutnya sesuai jadwal adalah pembacaan putusan," ujarnya.
Saat membacakan nota pembelaan pada Jumat (19/6), Nahrawi mengajukan diri sebagai pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau JC. "Demi Allah demi Rasulullah, saya akan membantu majelis hakim yang mulia, jaksa penuntut umum dan KPK untuk mengungkap perkara duit Rp11 miliar itu, kabulkanlah saya sebagai JC," kata Nahrawi.
JPU KPK menuntut Nahrawi agar divonis selama 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
JPU KPK juga meminta pencabutan hak politik Nahrawi selama 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokoknya. Nahrawi dalam nota pembelaannya mengaku tidak pernah melakukan persengkongkolan jahat untuk mendapat uang suap dan gratifikasi.
"Saya sudah bersumpah di atas Al Quran bahwa saya tidak tahu menahu, tidak meminta, tidak memerintahkan, tidak menerima bahkan demi Allah saya tidak terlibat dalam persekongkolan jahat ke mana duit Rp11 miliar itu," ungkapnya.
Menurut Nahrawi, mantan asisten pribadinya Miftahul Ulum sudah membuka ke mana arah uang Rp11 miliar itu mengalir tapi tidak dijadikan dasar mengungkap fakta yang jujur dan sebenarnya.