Senin 29 Jun 2020 07:32 WIB

BPIP Komentari RUU HIP yang Jadi Polemik Nasional

Munculnya istilah trisila dan ekasila dipandangan bahwa RUU HIP bersifat sekuler.

Rep: Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Lambang Pancasila.
Foto: Dok
Lambang Pancasila.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Utama (Sestama) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Karjono, memaparkan kronologi dan latar belakang rancanangan undang-undang halauan ideologi Pancasila (RUU HIP) yang telanjur menjadi polemik nasional. Menurut Karjono, RUU HIP sebenarnya bertujuan untuk memperkuat kelembagaan BPIP yang bertugas melaksanakan pembinaan ideologi Pancasila.

Pasalnya, saat ini berdirinya BPIP hanya berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2019. Karena itu, ia mendukung pengesahan RUU HIP agar BPIP bisa diperkuat.

“Penguatan pelembagaan pembinaan ideologi Pancasila menurut aturan yang ada sangat dimungkinkan. Kelembagaan yang ada saat ini dilandasi oleh peraturan presiden. Tentu masih membutuhkan penguatan agar fungsinya lebih maksimal. Pencantuman TAP MPRS XXV 1966 (tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia) patut untuk dimasukkan," kata Karjono dalam webinar bertema 'RUU Haluan Ideologi Pancasila: Penguatan atau Degradasi' di Jakarta pada Ahad (28/6) malam WIB.

Pengamat dari FISIP UIN Syarif Hidatullh Jakarta, Zaki Mubarok, menyebutkan, terjadinya polemik RUU HIP merupakan proses yang harus dipahami sebagai pencarian titik keseimbangan dari dua golongan ekstrem. “Tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV 1966 dan munculnya istilah trisila dan ekasila dipandangan bahwa RUU HIP bersifat sekuler. Secara substansi ditengarai sebagai tindakan yang mencoba memonopoli tafsir terhadap nilai-nilai Pancasila,” ucap Zaki.