REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal ilmiah Inggris, Nature, menerbitkan penelitian yang menunjukkan bahwa sebanyak 87 persen kasus virus corona tipe baru atau Covid-19 di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China tidak terdeteksi antara Januari dan Maret. Penelitian tersebut ditulis oleh sekelompok ahli China yang berbasis di Wuhan.
Sebagai kota tempat awal munculnya virus, penelitian menemukan bahwa 53 persen dan 87 persen dari infeksi sebelum 8 Maret tidak dipastikan atau tidak dicatat. Hal itu berpotensi juga tidak tercatatnya kasus tanpa gejala dan gejala ringan.
Kegagalan untuk memperhitungkan kasus-kasus itu juga menghasilkan tingkat reproduksi hanya 0,28. Angka itu berarti bahwa rata-rata orang yang terinfeksi Covid-19 menularkan penyakit pada kurang dari satu orang baru, sehingga menunjukkan bahwa penyakit itu akan segera mati.
Padahal, tingkat reproduksi selama wabah awal adalah 3,54 yang jauh lebih tinggi daripada SARS dan MERS. "Temuan itu menyoroti risiko yang ditimbulkan oleh kasus-kasus yang tidak pasti dalam mengubah strategi intervensi," demikian pernyataan para penulis studi tersebut seperti dikutip laman Daily Sabah, Jumat (17/7).
Pedoman diagnostik yang diterbitkan oleh pemerintah China pada saat itu menetapkan bahwa infeksi tanpa gejala, walaupun dikonfirmasi melalui pengujian laboratorium, tidak termasuk di antara kasus yang dikonfirmasi sampai mereka menunjukkan manifestasi klinis. Mengabaikan kasus-kasus yang tidak pasti dan menggunakan model yang terlalu disederhanakan itu mungkin telah meminimalkan ancaman yang disebabkan oleh penyakit yang berpotensi mematikan serta memengaruhi strategi negara-negara lain untuk mencegah penyebarannya.
Hingga Jumat (17/7), total kasus Covid-19 di seluruh China tercatat 83.622, menurut data statistik worldometers yang mengacu pada pengumuman pemerintah China. Sementara jumlah kematian akibat virus di seluruh daratan China kini 4.634, dengan tingkat kesembuhan tercatat 78.737.