REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Sidang korupsi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dilanjutkan pada Ahad (19/7), setelah dihentikan selama dua bulan karena pandemi virus Corona. Namun, Netanyahu tidak akan hadir dalam persidangan tersebut.
Kehadiran Netanyahu dalam sidang di Pengadilan Distrik Yerusalem dianggap tidak diperlukan. Sebelumnya, pada Mei lalu Netanyahu hadir dalam pembukaan persidangan dan membantah tuduhan yang dilayangkan kepadanya.
Netanyahu dituduh telah melakukan suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan.
Jika terbukti bersalah, tuduhan suap dapat dijatuhi hukuman hingga 10 tahun penjara.
Sementara, penipuan dan pelanggaran kepercayaan dijatuhi hukuman penjara hingga tiga tahun. Di bawah hukum Israel, seorang perdana menteri yang dituduh melakukan kejahatan tidak diharuskan untuk mengundurkan diri.
Netanyahu adalah pemimpin pertama Israel yang menghadapi persidangan atas dugaan korupsi dalam status aktif menjabat. Dia mengatakan, tuduhan yang dilayangkan kepadanya adalah upaya sejumlah pihak untuk menjatuhkannya.
Beberapa hari terakhir, aksi demo berlangsung di sekitar kediaman Netanyahu. Para demonstran mengkritik tindakan pemerintah dalam menangani pandemi virus Corona. Publik juga marah atas kasus korupsi yang dituduhkan kepada Netanyahu. Para demonstran membawa spanduk yang bertuliskan, "Korupsi Netanyahu membuat kita muak" dan "Netanyahu mundur".
"Virus yang paling mematikan bukanlah Covid-19, tetapi korupsi," ujar seorang pengunjuk rasa, Laurent Cige, dilansir Aljazirah.
Netanyahu menghadapi gelombang ketidakpuasan atas penanganan krisis virus Corona. Jumlah kasus baru infeksi virus korona terus bertambah, sementara angka pengangguran semakin meningkat.
Tingkat pengangguran di Israel melonjak dari 3,4 persen pada Februari menjadi 27 persen pada April. Pada awal pandemi, Netanyahu sempat mendapatkan pujian karena bertindak cepat dengan menutup perbatasan dan memberlakukan pembatasan secara ketat.
Netanyahu mengakui bahwa pemerintah terlalu cepat membuka kembali perekonomian sehingga terjadi lonjakan kasus. Kini, pemerintah telah menutup lagi sejumlah tempat-tempat publik seperti bar, klub malam, dan pusat kebugaran.