Ahad 19 Jul 2020 16:15 WIB

Penggembungan Merapi, Pakar Minta Warga tak Panik

Gunung Merapi masih berstatus waspada atau level II.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Andri Saubani
Warga berjualan makanan di tepi jalan dengan latar belakang Gunung Merapi di Jrakah, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (17/7/2020). Berdasarkan data pengamatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi pada tanggal 16 Juli 2020 terjadi aktivitas kegempaan Gunung Merapi sebanyak empat guguran, 10 fase banyak dan dua tektonik sehingga dianjurkan tidak ada aktivitas manusia dalam radius tiga kilometer dari puncak gunung.
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Warga berjualan makanan di tepi jalan dengan latar belakang Gunung Merapi di Jrakah, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (17/7/2020). Berdasarkan data pengamatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi pada tanggal 16 Juli 2020 terjadi aktivitas kegempaan Gunung Merapi sebanyak empat guguran, 10 fase banyak dan dua tektonik sehingga dianjurkan tidak ada aktivitas manusia dalam radius tiga kilometer dari puncak gunung.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, Dr. Agung Harijoko, meminta masyarakat tidak panik menanggapi aktivitas terbaru Gunung Merapi seperti penggembungan. Namun, ia meminta masyarakat tidak pula kendurkan kewaspadaan.

"Tetap tenang dan jangan panik, ikuti arahan dan patuhi rekomendasi yang disampaikan oleh BPPTKG atau BPBD setempat," kata Agung, Sabtu (18/7).

Baca Juga

Ia berharap, masyarakat terus memantau informasi terkait Gunung Merapi dari sumber-sumber yang kredibel baik melalui website maupun media sosial BPPTKG. Terlebih, Gunung Merapi sendiri masih berstatus waspada atau level II.

Menurut Agung, status itu menunjukkan belum ada peningkatan potensi bahaya dari aktivitas Gunung Merapi. Artinya, ancaman bahayanya masih berada pada radius tiga kilometer dari puncak Gunung Merapi.

"BBPTKG menyatakan ada penggembungan di tubuh Merapi yang mengindikasikan ada magma yang bergerak di dalamnya, tapi masih lebih kecil dibanding deformasi sebelum erupsi 2010," ujar Dosen Teknik Geologi UGM tersebut.

Agung menjelaskan, pergerakan magma itu bisa berlanjut erupsi, bisa juga tidak berlanjut erupsi. Bila erupsi, maka kemungkinan bisa berupa erupsi efusif yang membentuk kubah lava atau erupsi eksplosif dengan letusan kuat.

"Erupsi Merapi bukan baru saja terjadi, tapi sudah berlangsung lama yakni  sejak keluarnya kubah lava pada 2018 lalu," kata Agung.

Ia menekankan, BPPTKG tentu terus melakukan pemantauan terhadap aktivitas Merapi dengan baik. Namun, Agung merasa, masyarakat perlu mengetahui bahaya yang ditimbulkan dari erupsi gunung api sebagai satu upaya mitigasi bencana.

Bahaya utama saat terjadi longsoran kubah dengan volume besar terbentuknya awan panas atau yang dikenal masyarakat Jawa dengan sebutan wedhus gembel. Ada pula ancaman abu vulkanis yang bisa menyebabkan gangguan pernafasan.

"Saat terjadi hujan abu, masyarakat diharapkan memakai masker untuk mencegah partikel-partikel abu halus terhirup ke tubuh," ujar Agung.

Setelah erupsi berakhir, masyarakat perlu waspadai ancaman lahar dingin saat musim penghujan. Curah hujan dengan intensitas tinggi akan membawa material vulkanis dari letusan gunung yang berada di lereng gunung atau hulu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement