REPUBLIKA.CO.ID,SYDNEY -- Para ilmuwan di seluruh dunia saat ini bekerja dengan giat untuk mengembangkan vaksin yang efektif terhadap COVID-19. Kolaborasi antara ilmuwan di McMaster University, University of Sydney, dan sejarawan di Mütter Museum di Philadelphia, mencari petunjuk potensial dari virus di masa lalu.
Mereka telah menganalisis genom fragmen virus cacar yang digunakan dalam vaksin selama Perang Sipil. "Memahami sejarah, evolusi, dan cara-cara di mana virus-virus ini dapat berfungsi sebagai vaksin sangat penting di zaman sekarang," kata ahli genetika evolusioner Hendrik Poinar, direktur McMaster Ancient DNA Center, dilansir di Arstechnica, Senin (20/7).
Menurut Poinar, pekerjaan ini menunjukkan pentingnya melihat keragaman strain vaksin yang ditemukan di alam liar. "Kami tidak tahu berapa banyak yang bisa memberikan perlindungan silang dari berbagai virus, seperti flu atau virus corona," kata Poinar.
Wabah cacar di masa lalu
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan cacar sebagai penyakit yang diberantas pada 1979. Banyak orang tidak ingat betapa dahsyatnya itu. Wabah ini dimulai dengan demam tinggi dan muntah parah, diikuti oleh ruam kulit.
Sekitar tiga dari sepuluh dari mereka yang terinfeksi meninggal. Para korban biasanya terluka parah seumur hidup, kadang-kadang bahkan buta atau cacat permanen.
Orang China menginokulasi orang terhadap cacar pada awal tahun 1500-an. Dokter-dokter Eropa pada awal abad ke-18 mengandalkan variolasi (penggunaan cacar untuk menginduksi imunitas) untuk mengendalikan penyebaran cacar, di mana serpihan dari cacar digaruk jatuh ke lengan seseorang atau terhirup melalui hidung.
Sementara mereka yang menerima pengobatan itu terus mengembangkan gejala cacar umum seperti demam dan ruam, angka kematian secara signifikan lebih rendah.
Pada akhir 1700-an, beberapa dokter di Inggris dan Jerman memperhatikan bahwa orang yang terinfeksi cacar sapi (cowpox) yang lebih lunak tampaknya kebal terhadap cacar. Ada beberapa tes vaksinasi awal pada manusia.
Pada 1774, seorang petani di Dorset, Inggris, bernama Benjamin Jesty, berhasil memvaksinasi istri dan anak-anaknya dengan cacar sapi. Tetapi dokter Inggris Edward Jenner yang berjasa dengan membawa vaksin cacar ke dalam praktik medis umum.
Jenner juga telah memperhatikan bahwa para pelayan susu yang terinfeksi cacar sapi umumnya kebal terhadap cacar air. Maka pada tanggal 14 Mei 1796, ia mengambil nanah dari lepuh cacar sapi di tangan gadis susu bernama Sarah Nelmes.
Kemudian ia menginokulasi seorang anak muda bernama James Phipps (putra tukang kebunnya) dengan kerokan, mengakibatkan sedikit demam, tetapi tidak ada penyakit yang parah. Dia kemudian mengekspos bocah itu beberapa kali pada virus variola, namun Phipps muda tidak pernah menderita cacar.
Jenner menguji metodenya pada 23 subjek tambahan (termasuk putranya yang berusia satu tahun, Robert), sebelum menerbitkan temuannya. Pada 1840, pemerintah Inggris telah melarang varasiasi dan memasok vaksinasi cacar sapi kepada masyarakat umum, tanpa biaya.
Selama Perang Saudara Amerika (1861-1865), cacar terbukti menjadi momok yang menghancurkan baik pasukan Union maupun Konfederasi. Seiring dengan karantina dan pembakaran pakaian dan selimut yang terinfeksi, tentara di kedua sisi konflik diminta untuk menerima vaksinasi cacar untuk mengendalikan penyebaran penyakit.