REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI--Dengan kasus Covid-19 yang terus meroket, Presiden India, Narendra Modi justru tengah sibuk membungkam para aktivis yang mengkritisi dan memprotes kebijakan anti-minoritas dan 'tangan besi'nya. New York Times melaporkan, hingga kini diperkirakan hampir selusin aktivis yang telah ditahan dengan alasan yang tidak jelas.
“Mereka ditahan di bawah undang-undang penghasutan dan anti terorisme yang ketat yang telah digunakan untuk mengkriminalkan segala sesuatu mulai dari unjuk rasa terkemuka hingga memposting pesan politik di media sosial,” tulis koresponden New York Times, Sameer Yasir dan Kai Schultz yang dikutip Republika, Selasa (21/7).
Di antara mereka yang ditangkap adalah Natasha Narwal, seorang aktivis mahasiswa yang dituduh melakukan tindakan yang memicu kerusuhan. Narwal merupakan seorang akademisi yang memberikan pidato menentang hukum kewarganegaraan, sekaligus seorang mahasiswa pascasarjana yang ikut mendirikan Pinjra Tod, atau Break the Cage, sebuah kolektif perempuan yang menyelenggarakan beberapa aksi unjuk rasa terbesar.
Meski telah dinyatakan bebas pada Mei lalu, kepolisian menjatuhkan dakwaan baru pada Narwal dengan tuduhan pembunuhan, terorisme, dan pengorganisasian protes yang memicu kekerasan agama yang mematikan di ibukota India.
Natasha Narwal, 32, yang telah mengatakan bahwa dia tidak bersalah, nyatanya tetap dikembalikan ke selnya.
"Saya merasa ingin menangis. Kami berduka atas negara tempat kami tumbuh," ujar teman sekamar Narwal, Vikramaditya Sahai.
Sistem punguncian karena virus corona juga terus berlaku di India, begitu juga akses menuju keadilan, mengingat pengadilan yang terus ditutup selama berpekan-pekan. Pengacara Narwal terus berupaya mengajukan pertemuan secara pribadi, namun hampir mustahil.
Dalam sebuah laporan panjang yang dirilis bulan ini, Komisi Minoritas Delhi, sebuah badan pemerintah, menuduh polisi dan politisi dari partai Modi menghasut serangan brutal terhadap para pengunjuk rasa dan mendukung "pogrom" terhadap Muslim minoritas.
Meenakshi Ganguly, direktur Asia Selatan dari Human Rights Watch yang berbasis di New York, menganggap kasus yang menimpa para aktivis mengandung motivasi politik, di mana kepolisian beralibi menjaga keamanan para aktivis, termasuk Narwal di penjara. Meski disisi lain, seorang hakim memerintahkan pembebasan tahanan karena kurangnya bukti.
"Urgensi untuk menangkap aktivis hak dan keengganan yang jelas untuk bertindak terhadap tindakan kekerasan dari pendukung pemerintah menunjukkan kehancuran total dalam aturan hukum," kata Ganguly.
Ayah Narwal, Mahavir Narwal, mengatakan bahwa pemerintah semakin mendekatkan India ke otoritarianisme dan menjelekkan siapa pun yang mempertanyakan kebijakannya. Selama berminggu-minggu, petugas penjara mengabaikan telepon dan surelnya ke Penjara Tihar, tempat Narwal ditahan.
Meski akhir-akhir ini komunikasinya dengan sang putri telah lancar. Pensiunan ilmuan itu kini semakin mengerti subteks penangkapan putrinya.
"Jika Anda protes, Anda akan disebut sebagai teroris. Meski yang dia lakukan adalah berjuang untuk menjaga jiwa India tetap hidup," katanya.
Sebelum pandemi melanda, New York Times menunjukkan data bahwa Modi berada dalam pergolakan tantangan paling signifikan terhadap kekuasaannya sejak menjadi presiden pada 2014. Setelah Parlemen mengeluarkan undang-undang tahun lalu yang memudahkan migran non-Muslim untuk menjadi warga negara India, jutaan orang memprotes di seluruh negeri.
Bagi para kritikus, undang-undang kewarganegaraan adalah lebih banyak bukti bahwa pemerintah nasionalis Modi Hindu berencana untuk melucuti hak-hak Muslim mereka. Ketegangan memuncak pada Februari lalu, ketika kekerasan sektarian dan kerusuhan meletus di New Delhi. Sebagian besar orang yang terbunuh, terluka atau terlantar adalah Muslim.
Nitika Khaitan, seorang pengacara kriminal, telah melacak beberapa lusin penangkapan. Khaitan mengatakan, angka sebenarnya tidak dapat diverifikasi karena laporan polisi belum dipublikasikan. Banyak penahanan yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi, katanya.
Disisi lain, dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Sachidanand Shrivastava, kepala polisi di New Delhi, mengklaim bahwa para perwiranya melakukan penyelidikan yang adil.
Pada bulan Mei, pihak berwenang mengatakan mereka telah menahan sekitar 1.300 orang karena terlibat dalam protes dan kerusuhan, termasuk jumlah yang sama antara Hindu dan Muslim. Baru-baru ini, polisi menangkap sekelompok orang Hindu karena memaksa sembilan pria Muslim untuk mengucapkan “Salam Ram,” merujuk pada dewa Hindu, sebelum membunuh mereka dan membuang mayat mereka ke selokan.
"Sangat penting bahwa kepolisian tetap tidak memihak, dan kami mengikuti prinsip ini sejak awal," ujar Shrivastava.
Sementara itu, anggota pengadilan India telah mempertanyakan angka resmi, dan menuduh polisi menyembunyikan informasi tentang penangkapan di bawah perlindungan keamanan nasional dan memilih Muslim untuk banyak tuduhan yang lebih keras.
Dalam catatan persidangan yang ditinjau oleh The Times, seorang hakim yang mendengarkan kasus terhadap seorang pemrotes Muslim menulis bahwa polisi tampaknya hanya menargetkan satu sisi tanpa memeriksa sisi lain. Selama kerusuhan, polisi juga dituduh bersekongkol dengan umat Hindu dan dalam beberapa kasus menargetkan umat Islam.
Khalid Saifi, anggota United Against Hate, sebuah kelompok yang bekerja dengan para korban kejahatan rasial, ditangkap setelah ia mencoba menengahi antara polisi dan pengunjuk rasa. Polisi menuduhnya sebagai "konspirator kunci" kerusuhan tersebut. Istrinya, Nargis Saifi, mengatakan dia disiksa dalam tahanan.
"Satu-satunya kejahatannya adalah dia adalah seorang Muslim," kata Saifi.
MS. Randhawa, seorang juru bicara polisi, membantah bahwa Saifi telah disiksa. Dia juga menyatakan bahwa Saifi memiliki kesempatan secara teratur untuk berbicara dengan hakim jika terjadi pelecehan.
Tetapi para pembela hak menuduh pemerintah Modi melindungi pejabat partai, dan lebih luas lagi, orang Hindu yang terlibat dalam kekerasan.
Sumber: