REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani menilai dengan adanya pandemi Covid-19 dunia anak sudah tidak sama lagi, terutama dunia pendidikannya. Memang dunia pendidikan yang dikenal anti-resesi tapi pandemi. Dulu guru jadi teman berbagi, sekarang gadget yang jadi sahabat sejati.
Maka, Zita menegaskan, hari anak nasional bukan ajang lempar flyer ucapan semata tapi harus menjadi bahan refleksi melihat kondisi anak Indonesia. Saat ini, banyak tangisan anak yang harus diusap oleh bapak atau ibu pemilik otoritas. "Teriakan dan jeritan orang tua hampir tidak terdengar, mungkin karena tebalnya tembok kerja, atau sibuknya rutinitas hingga lupa dengan janji ikrarnya," ujar Zita dalam pesan singkatnya, Jumat (24/7).
Zita mengaku miris melihat anak menjadi korban dari kebijakan pemerintah. Salah satunya pendidikan di tengah pandemi. Sejauh penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Ia mempertanyakan apakah pemerintah merasakan biaya pulsa yang begitu besar untuk belajar jarak jauh? Tampak tidak ada solusi jelas untuk persoalan ini. Namun jika setiap RT sudah memiliki akses internet, tentunya beban orang tua menjadi tidak begitu besar.
"Belum lagi biaya-biaya lainnya, yang juga harus ditanggung, apalagi yang belajar di sekolah swasta. Biaya SPP juga harus dibayar setiap bulannya. Sisa uang yang harusnya untuk makan, tersisihkan untuk biaya agar bisa sekolah. Akhirnya gizi anak yang di kesampingkan, miris saya melihatnya," tambah Zita.
Bahkan, kata Zita, sebagian dari orang tua tidak mampu membeli gadget yang layak untuk digunakan dalam pembelajaran jarak jauh. Terpaksa banyak anak-anak kita harus pergi ke warnet pagi siang malam, bahkan tak heran ada beberapa yang menjadi pemburu Wifi Gratis. Pendidikan hari ini seperti sudah mengingkari butir kelima dasar negara, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Zita, pandemi adalah ujian sesungguhnya bagi negara ini untuk menjadi Pancasilais. Padahal pemerintah memiliki anggaran besar yang diamanahkan konstitusi untuk sektor pendidikan, di atas 20 persen. Sering kali, kita mengklaim pendidikan kita anti-krisis, antiresesi, namun ternyata tidak anti terhadap pandemi.
"Kita perlu kembali melihat cita-cita bernegara. Sejauh mana, kita sudah ingkari," tutup politikus Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.