REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ida Budhiati mengatakan, hingga saat ini belum dibentuk mahkamah etik yang bertugas mengoreksi putusan DKPP. Hal ini disampaikan menyusul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN.JKT yang mengabulkan gugatan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik.
"Belum dibentuk mahkamah etik yang diberikan tugas untuk mengoreksi putusan DKPP," ujar Ida dalam siaran pers DKPP, Rabu (29/7).
Sementara, Ida mengatakan, PTUN yang notabene di bawah Mahkamah Agung (MA) itu hanya lembaga peradilan yang berwenang untuk memeriksa persoalan hukum, bukan persoalan etik. "Nah ini dua hal yang berbeda antara problem hukum dengan problem etik," kata dia.
Dalam putusannya tertanggal 23 Juli 2020, PTUN menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 tentang pemberhentian dengan tidak hormat Evi Novida dari komisioner KPU RI. Keppres yang terbit 23 Maret 2020 itu merupakan tindak lanjut pelaksanaan putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2020 pada 18 Maret 2020.
DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Evi dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu. DKPP kemudian memerintahkan presiden melaksanakan putusan DKPP untuk memecat Evi.
Menurut Ida, DKPP memiliki otoritas untuk menerbitkan putusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding). Sehingga, tidak ada satu pun lembaga peradilan yang bisa mengoreksi putusan DKPP yang merupakan peradilan etik di bidang pemilu.
"Karenanya keputusan Bapak Presiden itu sudah tepat melaksanakan dan menindaklanjuti putusan DKPP yang final dan binding serta tidak bisa dianulir oleh peradilan hukum," tutur Ida.