Kamis 06 Aug 2020 15:31 WIB

Skema Baru PPN Pertanian Tambah Penerimaan Rp 300 Miliar

Kontribusi pertanian kepada produk domestik bruto (PDB) cukup besar yaitu 13 persen.

Sejumlah petani memilah wortel di lahan pertanian kaki Gunung Merbabu, Samiran, Selo, Boyolali, Jawa Tengah. ilustrasi
Foto: ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Sejumlah petani memilah wortel di lahan pertanian kaki Gunung Merbabu, Samiran, Selo, Boyolali, Jawa Tengah. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menyatakan skema baru pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) produk pertanian tertentu melalui PMK 89/2020 akan menambah penerimaan sebesar Rp 300 miliar. Peraturan tersebut merupakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 89/PMK.010/2020 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu.

“Kalau hitungan kita dampak PMK ini ke penerimaan PPN tidak terlalu besar untuk tahun ini yaitu sekitar Rp 300 miliar,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.

Baca Juga

Febrio menjelaskan sebelum ada PMK itu barang kena pajak yang berasal dari petani maupun kelompok petani dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar dikenai PPN 10 persen dari harga jual.

Sementara melalui peraturan tersebut petani dapat memilih menggunakan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak yaitu 10 persen dari harga jual sehingga tarif efektif PPN menjadi 1 persen dari harga jual.

“Petani diberikan pilihan untuk menggunakan mekanisme dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain sehingga tergantung kondisi petani yang bersangkutan lebih optimalnya menggunakan opsi yang mana,” katanya.

Berbagai barang hasil pertanian yang dapat menggunakan nilai lain adalah barang hasil perkebunan, tanaman pangan, tanaman hias dan obat, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu.

Meski demikian, Febrio menyatakan tujuan dari dikeluarkannya peraturan ini tidak sepenuhnya untuk mengumpulkan penerimaan melainkan juga dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha sektor pertanian.

Hal itu diupayakan karena fasilitas pembebasan PPN melalui PP 12 Tahun 2001 s.t.d.t.d. PP 31 tahun 2007 dicabut oleh putusan Mahkamah Agung No 70 P/Hum/2013 sehingga penyerahan barang hasil pertanian menjadi terutang PPN.

Ia mengatakan sejak putusan dicabut petani masih kesulitan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga kemudahan yang ditawarkan PMK ini dapat menjadi jalan keluar.

“Pesannya bukan ke penerimaannya tapi kepastian hukum yang lebih dikejar karena pelaku usaha di sektor pertanian juga sudah menunggu PMK ini,” tegasnya.

Tak hanya itu, Febrio menyatakan melalui peraturan ini pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan proporsionalitas sektor pertanian terhadap penerimaan perpajakan. Ia menjelaskan kontribusi pertanian kepada produk domestik bruto (PDB) cukup besar yaitu 13 persen, sedangkan kontribusi untuk penerimaan pajak masih rendah.

“Kalau PDB kita 2019 itu sekitar Rp16 ribu triliun dan pertanian saja itu 13 persen berati hampir sekitar Rp 2 ribu triliun. Tapi sektor pertanian relatif kecil kontribusinya sama pajak. Ini yang kita ingin tekankan,” tegasnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement