Jumat 07 Aug 2020 21:30 WIB

Wartawan Asing di Hong Kong Hadapi Penundaan Visa

FCC menyatakan visa telah digunakan sebagai senjata dalam perselisihan internasional

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Seorang peserta aksi mengibarkan bendera Amerika Serikat dan Hong Kong di Causeway Bay, Hong Kong. FCC menyatakan visa telah digunakan sebagai senjata dalam perselisihan internasional. Ilustrasi.
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Seorang peserta aksi mengibarkan bendera Amerika Serikat dan Hong Kong di Causeway Bay, Hong Kong. FCC menyatakan visa telah digunakan sebagai senjata dalam perselisihan internasional. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Wartawan asing di Hong Kong menghadapi penundaan visa di tengah ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Klub Koresponden Asing (FCC) menyatakan visa telah digunakan sebagai senjata dalam perselisihan internasional.

Sebelumnya media asing menghadapi pembatasan di China daratan, kecuali Hong Kong. Namun peringatan penundaan visa di Hong Kong muncul setelah China menyatakan tindakan balasan atas pengusiran jurnalisnya di AS. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan AS belum memperbarui visa jurnalis China sejak 11 Mei.

Baca Juga

Dalam sebuah pernyataan, FCC menyebut wartawan tidak boleh menjadi sasaran tindakan kebijakan yang diambil oleh negara asalnya. FCC menyerukan kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mencabut pembatasan pada media China yang bekerja di AS.

"FCC menyerukan kepada pemerintahan Trump untuk mencabut pembatasannya pada media China yang bekerja di AS dan pada pemerintah Hong Kong dan China untuk menahan diri dari pembalasan dalam menargetkan media AS dan jurnalis yang bekerja di Hong Kong," ujar pernyataan FCC dilansir BBC.

FCC mengatakan beberapa media di Hong Kong telah melaporkan penundaan dalam mendapatkan atau memperbarui visa untuk jurnalis dari beberapa negara. The New York Times bulan lalu memindahkan beberapa stafnya dari Hong Kong ke Seoul, Korea Selatan. Mereka memperingatkan bahwa undang-undang keamanan baru yang kontroversial telah meresahkan organisasi berita dan menciptakan ketidakpastian tentang prospek Hong Kong sebagai pusat jurnalisme.

"Membatasi jurnalis di Hong Kong dengan mengurangi jumlah mereka dan mengganggu kemampuan mereka untuk melaporkan secara bebas akan merusak reputasi internasional Hong Kong," ujar pernyataan FCC.

Kebebasan pers di Hong Kong telah menjadi sorotan dalam beberapa pekan terakhir setelah Beijing memperkenalkan undang-undang keamanan baru. Menurut para kritikus, undang-undang tersebut membatasi kebebasan berbicara.

Dalam pernyataannya pada Kamis (6/8), FCC mendesak pemerintah Hong Kong untuk mengklarifikasi dampak undang-undang keamanan nasional yang baru terhadap wartawan yang bekerja di Hong Kong. FCC meminta jaminan bahwa wartawan akan "bebas untuk melanjutkan pekerjaan mereka tanpa intimidasi atau penghalang".

Sebelum undang-undang keamanan disahkan, Beijing telah dituding membatasi kebebasan berbicara dan membatasi media. Pada 2018, jurnalis Financial Times dan Wakil Presiden FCC, Victor Mallet, dilarang memasuki Hong Kong dengan visa turis.

Hal itu terjadi sebulan setelah Hong Kong menolak memperbarui visa kerjanya tanpa penjelasan. FCC sebelumnya telah membuat Beijing geram karena menyelenggarakan diskusi yang mengundang pembicara tamu yang menganjurkan kemerdekaan Hong Kong.

Sebelumnya, China daratan telah mengusir wartawan dari tiga surat kabar terkemuka AS yakni New York Times, Washington Post, dan Wall Street Journal. Wartawan dari ketiga surat kabar itu diminta untuk mengembalikan izin mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement