REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Masjid Raya Ganting pertama kali dibangun pada 1700 M di atas tanah wakaf dari tujuh suku yang diserahkan melalui Gubernur Jenderal Ragen Bakh, penguasa Hindia Belanda di Sumatra Barat waktu itu. Mulanya masjid tersebut dibangun di Kaki Gunung Padang.
Namun, karena Belanda bermaksud membangun jalan ke Teluk Emmahaven (sekarang Teluk Bayur), masjid tersebut dipindahkan ke tepi Sungai Arau. Dari sana, masjid kembali dipindahkan ke tempat yang menjadi lokasinya sekarang.
Konstruksi awalnya sangat sederhana sehingga beberapa catatan sejarah menyebutnya surau. Bangunannya dibuat dari kayu, sedangkan atapnya dari rumbia (rumput kering). Atas prakarsa dari tiga tokoh masyarakat setempat pada 1805, yakni Angku Gapuak (saudagar), Angku Syekh Haji Uma (tokoh masyarakat), dan Angku Syekh Kepala Koto (pemuka agama) direncanakanlah pembangunan masjid yang lebih baik.
Biaya pembangunan berasal dari sumbangan para saudagar dari Padang, Sibolga, Medan, Aceh, serta ulama Minangkabau. Masjid dibangun dengan ukuran 30x30 meter, ditambah serambi di tiga sisinya. Lantainya terbuat dari batu kali bersusun yang diplester menggunakan tanah liat.
Pembangunan tersebut mendapat simpati dari seorang anggota Corps Genie (Militer Belanda) berpangkat kapten yang menjabat Komandan Genie Sumatra Barat dan Tapanoli. Ia memberikan bantuan dengan mendatangkan pekerja untuk membantu penyelesaian pembangunan. Lima tahun kemudian, pada 1810, pembangunan tersebut berhasil diselesaikan.
Pembangunan tahap kedua dimulai pada 1900, ketika dilakukan penggantian lantai dengan ubin segi enam berwarna putih. Ubin yang didatangkan dari Belanda itu dipesan melalui perusahaan dagang Belanda NV Jacobson van de Berg. Pemasangan ubin dilakukan oleh tukang-tukang yang ditunjuk langsung oleh perusahaan dan selesai pada 1910.
Selanjutnya, 50 tahun kemudian, dilakukan pemasangan keramik pada tiang-tiang di ruang utama yang terbuat dari batu bata itu. Pada periode ini pula, dilakukan pembuatan bagian depan bangunan masjid yang mirip benteng Spanyol. Juga pembuatan menara oktagonal di sisi utara dan selatan yang selesai pada 1967. Lalu pada 1995, dilakukan pemasangan keramik pada dinding bagian dalam ruang utama.
Selain dari Belanda, konon bantuan juga datang dari etnis Cina. Di bawah komando Kapten Lou Chian Ko, para pekerja Cina mengerjakan atap kubah berbentuk segi delapan yang menyerupai bangunan atap kelenteng itu. Bahkan, menurut sumber lainnya, ketika gerakan ulama Padri mulai bangkit, mereka mengambil peran dengan mengirim beberapa ahli ukir Minangkabau. Merekalah yang kemudian membuat ukiran pada papan les plang atap masjid.