REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Ritual sunatan atau khitanan selalu ditemui di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim atau negara-negara Islam. Meskipun dipandang termasuk tradisi kuno yang dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim AS, tapi ritual ini menjadi kewajiban bagi setiap pria Muslim yang beranjak balig. Meskipun tak tersurat dalam Alquran, tradisi memotong kulup di alat genital pria ini punya kekhasan masing-masing di tiap wilayah negara Islam.
Kali ini ahli budaya Timur Tengah Prof Nil Sari membahas tradisi sunat di Kerajaan Turki Usmani. Tulisannya juga pernah dibahas dalam event 39th Annual International Congress of the British Association of Paediatric Surgeons pada 22-24 Juli 1992 di Leeds, Inggris. Pembahasannya tak hanya seputar tata cara pelaksanaan sunat, tapi juga disertai dampak sosial ekonomi pada saat tradisi sunat dilakukan.
Sumber utama menapaki jejak ritual sunat di Turki adalah karya mutakhir bidang pembedah an, Jarrahiya Ilhaniye. Buku karya Sabuncuoglu Shahinshahname ini ditulis saat tahta kekuasaan Turki digenggam Sultan Murat III. Di dalamnya mencatat berbagai kejadian penting yang dilalui saat masa perkembangan putra kerajaan pada 1582, Mehmet dan Surnames.
Kisah terkait ritual sunat Surname-i Vehbi banyak diceritakan di sini. Lalu, menyusul kisah empat putra kerajaan Sultan Ahmed III, yakni Pangeran Suleyman, Mehmet, Mustafa, dan Beyazid pada 1720. Penelusuran penulis sungguh serius. Bahkan, bagian area kerajaan yang ter tutup untuk umum, seperti Topkapi dan Dolmabahce berhasil didokumentasikan. Di kedua tempat inilah ritual sunat putra Kerajaan Turki Usmani selalu berlangsung.
Hasil penelitian menyebutkan pula, setelah abad ke-15, seluruh ritual sunat dilakukan di tempat tersebut. Kecuali sekali di tahun 1675 yang diadakan di Istanbul. Area kerajaan yang identik dengan ritual sunat selalu dilokalisasi secara khusus. Beberapa tempat yang terkenal seperti Istana Topkapi, Kagithane, Sultanahmed Square, Golden Horn, Istana Aynalikavak, dan Istana Dolmabahce.
Hakikatnya, ritual sunat ala pangeran Turki ini dikenal dengan sebutan “sur-i hümayun“. Biasanya setelah acara utama dilaksanakan kemudian dilanjutkan pesta perayaan selama 10 hari hingga 15 hari. Beberapa di antaranya bahkan mengadakan pesta yang berlangsung selama 50 hari hingga 55 hari.
Selain sang putra kerajaan yang menjalani sunat, bersamaan itu pula sekitar 3.000 hingga 10 ribu anak lakilaki juga disunat massal selama pelaksanaan pesta. Mereka berasal dari kalangan warga miskin setempat. Setelah ritual kelar, pihak kerajaan menghadiahkan baju, koin emas, celana dalam, dan mainan bagi mereka. Di akhir masa pesta, barulah ahli sunat melakukan ritual bagi sang pangeran.
Menjalani pingitan
Sebelumnya sang pangeran harus menjalani pingitan. Dia ditempatkan di suatu ruangan khusus dengan didampingi beberapa orang kepercayaan istana. Hanya orang-orang tertentu seperti ibu dan saudara-saudari mereka yang boleh masuk ke dalam kamar pangeran. Usai ritual, si ahli sunat pun dihadiahi barang-barang berharga dan koin emas.
Selama masa ritual berlangsung, warga sipil pun dipersilakan berpartisipasi di istana. Biasanya pihak istana mendirikan tenda besar yang ditutupi karpet bagi warga yang datang. Sultan dan warganya pun bisa berbaur tanpa sekat menikmati hiburan serta makanan yang tersaji.
Sementara itu, suasana ritual sunat di zaman Turki Usmani juga kental dengan berbagai kegiatan. Di antaranya ada acara berburu, lomba olahraga, kembang api, pertunjukan drama, dan lagu-lagu. Kesemuanya menggambarkan kehidup an sehari-hari di lingkungan kerajaan.
Berbagai aktivitas tadi juga merangsang kreativitas warga kerajaan. Mereka menampilkan beragam kemampuan serta berparade di hadapan Sultan serta para penggawanya. Ratusan orang berbaris menikmati karnaval ini. Para tentara dan pasukan berkuda (kavaleri) turut memeriahkan dengan tampilan adegan berperang. Keramaian itu bertambah dengan pertunjukan kembang api serta pembacaan puisi dari para seniman ternama.
Parade karnaval menjadi titik sentral rangkaian acara sunatan ala Turki Utsmani. Para penampil mengenakan pakaian khusus berjulukan ‘nahil’ dalam berbagai ukuran. Bentuknya bak pepohonan yang dihiasi gambar-gambar hewan, buah, bunga, dan benda-benda berkilau.
Nahil rupanya menjadi semacam simbol kekuatan dan kekuasaan sultan. Ukurannya bervariasi dengan tinggi hingga 15 meter dan lebarnya mencapai enam meter.
Sepanjang parade berlangsung, terlihat taman, hewan, dan kolam tiruan terbuat dari gula-gula. Nantinya warga bisa mencomot dan menikmatinya seusai acara.
Seusai menjalani sunat, kemeriahan upacara sang putra kerajaan, Surname, diabadikan dalam kumpulan karya sastra. Di dalamnya ada puisi dan prosa yang hanya bisa ditemui di masa kekhalifahan Turki Usmani.
Tema tulisannya beragam, mulai dari suasana hiburan yang berlangsung siang hingga malam. Lalu, digambarkan pula kemampuan warga yang mengikuti berbagai perlombaan, hadiah-hadiah bagi para pemenang, meja-meja sajian, hingga hadiah-hadiah yang dipersembahkan bagi sang sultan.
Para pelukis kenamaan di masa itu pun turut mengabadikan kemeriahan pesta Surname-i Vehbi. Salah satunya juga berhasil memotret secara utuh ritual sunat keempat putra Sultan Ahmed III. Karya milik pelukis kenamaan Turki di abad ke-18, Levni telah dibukukan. Di dalamnya terdapat 137 lukisan miniatur kehidupan serta budaya orang Turki di Istanbul masa itu.
Sumber tentang kebudayaan Turki lainnya didapati dalam karya Sha hinshahname. Buku yang ditulis dalam bahasa Persia ini merekam berbagai kejadian penting di masa pemerintahan Sultan Murat III. Termasuk pesta pera yaan sunat Pangeran Mehmed pada tahun 1582.