REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalolo memprediksi terjadinya kampanye dengan ujaran kebencian makin tinggi pada Pilkada 2020. Hal itu terjadi seiring kampanye politik lebih banyak menggunakan media sosial saat pilkada digelar di tengah pandemi Covid-19.
"Kita sudah bisa memprediksi kampanye penggunaan media sosial akan lebih ramai, lebih banyak digunakan. Tentu potensi untuk terjadinya kampanye dengan ujaran kebencian juga akan semakin tinggi," ujar Ratna dalam diskusi virtual tentang Pilkada Tanpa Ujaran Kebencian dan Isu Agama Lebih Oke, Kamis (13/8).
Namun, kata dia, Bawaslu menghadapi tantangan dalam mewujudkan pilkada tanpa politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan ujaran kebencian. Sebab, undang-undang tentang pemilihan hanya dapat menjangkau praktik politisasi SARA dan ujaran kebencian pada saat masa kampanye saja.
Kemudian, ada perbedaan persepsi antarpemangku kepentingan dalam membedakan konten ujaran kebencian dan informasi bohong atau hoaks. Proses pembuktian yang panjang dalam menangani dugaan tindak pidana ujaran kebencian atau politisasi SARA.
Menurut Ratna, masih diperlukan sistem penegakan hukum yang komprehensif meliputi substandi, struktur, dan budaya hukuk terhadap penindakan praktik ujaran kebencian dan politisasi SARA saat pilkada. Apalagi pandemi Covid-19 juga mempengaruhi berlangsungnya proses penindakan penanganan pelanggaran pilkada karena terjadi sejumlah pembatasan dan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
"Tentu akan menjadi hal yang serius bagi Bawaslu untuk mencari jalan keluar yang terbaik agar proses penanganan pelanggaran tetap akan bisa berjalan dengan baik," kata Ratna.