REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Islam dalam ranah politik dan budaya di Arakan dimulai pada abad ke-15 pada masa Raja Narameikhla (1404- 1434 M). Pada 1406 M, Raja Nara meikhla terusir oleh invasi Kerajaan Burma sehingga melarikan diri ke Gaur, ibu kota Kesultanan Bengal. Raja Buddha itu diterima dengan baik oleh penguasa Muslim Bengal. Ia diberi jabatan sebagai perwira tentara oleh Sultan Ahmed Shah. Raja Arakan itu menghabiskan sebagian besar hidupnya di Bengal, meninggalkan negaranya di ta ngan orang-orang Burma. Akhirnya pada 1430, ia dikembalikan ke tahta Arakan dengan bantuan tentara Bengal yang dikirim oleh Sultan Muhammad Shah Jalaiuddin.
Sejak 1430, Kerajaan Arakan mem be ri kan upeti ke Kesultanan Bengal. Raja menggunakan gelar Sulaiman Shah dan juga tulisan syahadat pada koin mata uang kerajaan. Meskipun Buddha memenga ruhi raja-raja Arakan dalam hal agama, namun beberapa ajaran Islam ada dalam diri mereka. Penulis buku History of Burma GE Hervey menyatakan bahwa sudah menjadi tradisi bagi raja-raja Buddha di Arakan untuk menggunakan sebutan nama Muslim setelah nama mereka sendiri.
Praktik mencontoh tradisi Mughal dan Bengal ini dilakukan para raja Arakan sampai paruh pertama abad ke- 17 karena mereka tak hanya ingin dianggap sebagai raja Buddha, tetapi juga karena ada Muslim dalam jumlah yang semakin besar di antara rakyat mereka. Selama pemerintahannya, perkembang an yang tak terduga terjadi dan membuka jalan bagi sebuah periode dominasi Muslim di tanah Arakan.
Narameikhla kemudian memindah kan ibu kota dari Longyyet ke Mrohaung, dekat perbatasan dengan Bengal tempat ia mendirikan sebuah dinasti baru yang dikenal sebagai Dinasti Mrauk U. Mereka membentuk koloni di Arakan dan daerah sekitar pesisir utara Chittagong, serta membangun Masjid Sandi Khan di Mrohaung. Secara bertahap, masyarakat Muslim campuran dan budayanya berkembang di sekitar ibu kota.
Kelompok Muslim juga mendirikan pos militer Gaudian di Sandway dan Rarnree (di bawah Chawpiu) di Arakan selatan untuk melindungi dari serangan etnis Burma. Para prajurit ini tinggal di Gaudian dengan persahabatan selama berabad-abad dengan penduduk lokal.
Sesuai dengan tradisi Muslim di Gaur dan Delhi, Narameikhla mereformasi sistem peradilan Arakan. Kerajaan dibagi ke dalam beberapa peradilan dan masing-masing dengan satu pejabat. Kepala pengadilan disebut sebagai qazi, mirip qadi dalam Bahasa Arab.
Ibu Kota Mrohaung di sepanjang Sungai Lemro adalah pusat kegiatan perdagangan. Permukiman Muslim terus berkembang sepanjang Sungai Lemro, Mingen, Kaladan, Mayu, dan Naf. Selama hampir satu abad (1580-1666 M), Chittagong yang merupakan salah satu pelabuhan laut terbesar di Teluk Benggala berada di bawah dominasi Kerajaan Arakan. Dari 1666-1710 M, kekuasaan politik Arakan berada di bawah dominasi Muslim seiring jumlah mereka yang meningkat. Keturunan mereka masih bertahan di Ramree dan di beberapa desa dekat Akyab.
Namun, invasi Kerajaan Burma atas Arakan pada 1785 membawa bencana bagi warga Arakan dan juga kaum Rohingya. Sekitar 35 ribu warga Arakan mengungsi ke Chittagong yang dikuasai Inggris. Penguasa Burma mengeksekusi ribuan warga Arakan. Sebagian lagi dideportasi ke wilayah te ngah Myanmar sehingga Arakan menjadi sepi penduduk ketika Inggris menguasai wilayah itu awal abad ke-19.
Akhirnya, Inggris membawa orangorang Muslim Bengal (Bangladesh) ke Arakan untuk menghidupkan pertanian wilayah subur itu. Migrasi warga India dan Bangladesh yang dibawa Inggris ke Myanmar berlanjut sampai akhirnya mereka mendominasi populasi di kotakota besar termasuk Yangon. Dalam kekuasaan Inggris, warga etnis Burma merasa dianaktirikan sehingga ketika meletus Perang Dunia II yang me maksa Inggris keluar dari Myanmar, pecahlah kekerasan antaretnis yang terus terjadi hingga sekarang. Harmoni Buddha dan Islam yang dipelopori Na rameikhla tak tersisa lagi.