Selasa 18 Aug 2020 23:03 WIB

Pakar: Laporan Hasil Riset Obat Covid-19 Harusnya ke BPOM

Unair malah melaporkan hasil risetnya lebih dulu ke TNI dan BIN alih-alih ke BPOM.

Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang juga Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa (kanan) menerima hasil uji klinis tahap tiga obat baru untuk penanganan pasien COVID-19 dari Rektor Universitas Airlangga (Unair) Mohammad Nasih di Jakarta, Sabtu (15/8/2020). Universitas Airlangga bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat (AD), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri menyelesaikan penelitian obat baru untuk pasien COVID-19 yang dirawat tanpa ventilator di rumah sakit, berupa hasil kombinasi dari tiga jenis obat dan saat ini memasuki proses untuk mendapatkan izin produksi.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang juga Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa (kanan) menerima hasil uji klinis tahap tiga obat baru untuk penanganan pasien COVID-19 dari Rektor Universitas Airlangga (Unair) Mohammad Nasih di Jakarta, Sabtu (15/8/2020). Universitas Airlangga bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat (AD), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri menyelesaikan penelitian obat baru untuk pasien COVID-19 yang dirawat tanpa ventilator di rumah sakit, berupa hasil kombinasi dari tiga jenis obat dan saat ini memasuki proses untuk mendapatkan izin produksi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar epidemi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, laporan riset obat Covid-19 hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair) seharusnya dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ia menjelaskan bahwa prosedurnya sudah baku.

"Seharusnya laporan riset obat kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM terlebih dahulu. Bukan ke TNI atau BIN sebagai sponsornya dan langsung mengumumkan ke publik secara terbuka bahwa penelitian mereka berhasil dan memberikan klaim sebagai penemuan obat Covid-19 pertama di dunia," ujar Pandu dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.

Baca Juga

Menurut Pandu, hal itu tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ada, yang mana uji klinik pertama obat Covid-19 sementara prosedur riset yang tak terbuka serta klaimnya tidak mengikuti standar uji klinik yang baku.

"Itu sebabnya akan banyak akademisi yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut," jelas dia.

Pandu menduga penelitian tim riset Unair itu belum dikaji oleh dunia akademis sesuai standar yang berlaku. Jika hal itu terjadi, maka laporan risetnya belum sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji klinis.

Padahal, ada persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia (WHO).

“Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman https://www.isrctn.com/, https://www.who.int/ictrp/en/,”jelas dia.

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengingatkan seharusnya tim Unair ikut prosedur yang terbuka dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis yang memahami prosedur uji klinik. Semua harus mengedepankan aspek transparansi.

Selama tahapan riset harus dipantau oleh tim "clinical monitoring" yang independen. Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada "independent clinical monitor", "Data Safety Monitorign Board" (DSMB) minimal tiga orang, meliputi masing-masing satu ahli farmakologi, biostatistik dan ahli penyakit yang diteliti.

"Selain itu, harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,” kata dia lagi.

Pandu mengatakan, tim clinical monitor dari BPOM dan kelompok independen yang mengevaluasi data uji klinik sehari-hari. Pihak clinical monitor melapor ke peneliti jika ada kesalahan prosedur untuk perbaikan. Laporannya juga ke DSMB.

Pandu menilai terdapat kesalahan prosedur yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subjek riset, karena ambil kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan Secapa.

Pandu juga mengingatkan setiap ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan direview oleh Komite Etik Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM.

Menurut Pandu, Komite Etik yang independen, sebaiknya dari Balitbangkes Kemenkes dan beberapa pakar dari luar Unair sendiri. Pandu berharap agar Badan Pengawas Obat dan Makanan bersikap tegas, apabila hasil penelitian tersebut belum memenuhi syarat.

Sebelumnya, Unair mengabarkan pihaknya telah menyelesaikan uji klinis tahap ketiga obat penawar penanganan Covid-19. Rektor Unair Mohammad Nasih mengatakan obat tersebut akan menjadi obat Covid-19 pertama di dunia.

Penelitian tersebut dilakukan bersama dengan TNI AD, BIN, dan Polri. Obat baru tersebut kombinasi dari tiga jenis obat, yakni Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyline, Hydrochloroquine dan Azithromycin.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement