REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri akan menjalani sidang etik yang digelar Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada Selasa (25/8) besok. Firli sebelumnya dilaporkan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) atas dugaan hidup mewah karena menggunakan helikopter swasta saat perjalanan ke Palembang dan fasilitas mewah lainnya.
Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri memastikan Firli akan menghadiri sidang etik tersebut. "Tentu siapapun yang menjadi terlapor dugaan pelanggaran kode etik baik pimpinan maupun pegawai KPK berkomitmen akan siap memenuhi panggilan proses-proses klarifikasi maupun pemeriksaan oleh Dewas KPK," kata Ali Fikri dalam pesan singkatnya, Senin (24/8).
Ali mengatakan, sudah menjadi tugas Dewas KPK sesuai Pasal 37B UU KPK adalah menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran kode etik pimpinan maupun pegawai KPK. Oleh karenanya, KPK memahami bahwa tujuan penegakan etik tersebut adalah rangka menjaga KPK dan nilai-nilai etik yang berlaku di KPK saat ini yang tentu harus dipatuhi baik oleh pimpinan maupun seluruh pegawai KPK.
"Banyak pihak yang memberikan perhatian terkait pelaksanaan sidang etik ini, dan untuk itu KPK akan ikuti ketentuan yang berlaku. Namun demikian kami semua juga harus menjaga dan menghormati proses yg sedang berjalan tersebut," tegas Ali.
Dikonfirmasi terpisah, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengaku sudah menerima undangan Dewas KPK terkait sidang dugaan pelanggaran etik Ketua KPK, Firli Bahuri. "Saya besok Dipanggil Dewan Pengawas KPK untuk menjadi saksi atas dugaan pelanggaran Kode Etik Pak Firli Ketua KPK terkait dengan naik kendaraan udara, helikopter. Di situ ada dugaan sesuai laporan saya dulu bergaya hidup mewah," kata Boyamin saat dikonfirmasi, Senin (24/8).
Boyamin menerangkan, secara aturan memang Pimpinan KPK dilarang bergaya hidup mewah. Ia tak memungkiri dugaan lainnya, namun Boyamin tak mau berspekulasi lebih jauh. Dia meminta agar proses sidang etik tersebut nantinya berjalan lancar tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
"Sementara kode etik pimpinan KPK dilarang bergaya hidup mewah. Untuk itu, saya akan hadir. Yang berkaitan dengan materi saya tidak akan membuka. Karena saya menghormati proses persidangan dan kita tunggu besok sampai persidangan," ucapnya.
Sementara Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi meminta agar Dewas KPK menggelar sidang etik dugaan pelanggaran yang dilakukan Firli Bahuri secara terbuka dan transparan.
"Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi mendesak agar sidang dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel," ujar salah satu anggota Koalisi, Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Senin (24/8).
Kurnia mengatakan penggunaan fasilitas mewah tersebut jelas mencoreng kredibilitas kelembagaan. Tak hanya itu, perilaku Firli juga semakin menciptakan situasi skeptisisme publik terhadap kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu juga menjabarkan beberapa dugaan pelanggaran etik lainnya yang dilakukan Firli, sebelum perkara helikopter limousin ini mencuat ke publik. Salah satunya saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan, Firli diduga sempat bertemu dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.
Bahkan dalam sebuah kesempatan, Firli juga diketahui sempat memberikan akses khusus terhadap salah seorang saksi yang akan diperiksa penyidik. Tak berhenti disitu, ratusan pegawai KPK diketahui pernah membuat petisi menyoal tindakan Deputi Penindakan yang terkesan kerap menghambat pengembangan perkara-perkara besar. Sayangnya, pada saat itu Firli Bahuri luput dari sanksi karena langsung ditarik oleh instansi asalnya yaitu Polri.
"Secara konsisten sebagai Ketua KPK, Komjen Pol Firli Bahuri, mempertahankan pola kerja seperti saat ia menjadi deputi penindakan. Mulai dari minimnya penindakan, menghasilkan banyak buronan, juga tidak menuntaskan perkara-perkara besar," ujar Kurnia.
Kemudian saat menjabat sebagai Ketua KPK, Koalisi melihat Firli terkesan abai dalam melindungi pegawai yang saat itu diduga disekap di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Pengabaian ini serius karena apa yang menimpa pegawai KPK sebenarnya terindikasi sebagai upaya menghalang-halangi penyidikan sebagaimana diatur UU Tipikor.
"Artinya, pengabaian Ketua KPK itu patut diperiksa lebih lanjut apakah merupakan bagian dari penghalang-halangan penyidikan tersebut atau tidak. Apabila terbukti maka bukan hanya pelanggaran etik yang terjadi tetapi tindak pidana," ujar Kurnia.
Tindakan lain yang dilakukan Firli yang turut disoroti Koalisi adalah upaya pengembalian 'paksa' salah seorang Penyidik KPK, Rossa Purbo Bekti, ke institusi Polri. Dalam kasus ini Komjen Pol Firli Bahuri disebut Koalisi tertangkap basah berbohong karena alasan yang ia ungkapkan bahwa pengembalian Rossa Purbo Bekti diminta oleh Polri kemudian dibantah oleh pihak Kepolisian. Tindakan-tindakan semacam ini tentu tidak dapat dibenarkan, karena akan semakin menciptakan citra buruk terhadap institusi KPK.
"Dewan Pengawas semestinya melihat dugaan pelanggaran kode etik ini sebagai suatu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain," ujar Kurnia.
Untuk itu Dewas harus berkaca pada tindakan yang dilakukan organ pengawasan internal KPK yakni Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) yang sempat memberikan sanksi tegas kepada dua orang Pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang karena diduga melakukan pelanggaran etik.
Koalisi pun menantang apakah Dewas juga akan melakukan tindakan serupa untuk menjatuhkan sanksi tegas bila memang Firli Bahuri terbukti melakukan pelanggaran etik tersebut. "Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi berat kepada Ketua KPK diikuti dengan perintah agar yang bersangkutan mengundurkan diri dari jabatannya," ujar Kurnia.
Menurut Kurnia jika hal ini terus menerus dibiarkan tanpa ada tindakan yang tegas bukan tidak mungkin di waktu mendatang tindakan tersebut akan berulang. "Selain itu, Dewan Pengawas pun juga akan dinilai publik telah gagal dalam menegakkan kode etik di internal kelembagaan KPK," ujar Kurnia.