REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, M Ihsan Maulana mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu segera menyiapkan regulasi terkait penggunaan aplikasi mobile sistem informasi rekapitulasi elektronik (Sirekap). Aturan sistem rekapitulasi hasil penghitungan suara elektronik atau e-rekap itu harus disusun secara hati-hati.
"Aspek regulasi e-rekap perlu dengan hati-hati disiapkan, seperti PKPU (Peraturan KPU) tentang Rekapitulasi dan harus disesuaikan dari jauh-jauh hari," ujar Ihsan kepada Republika.co.id, Selasa (25/8).
Selain itu, KPU juga harus memerhatikan putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 147/PUU-VII/2009 yang menjadi dasar hukum penerapan teknologi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Pasalnya, dalam Putusan MK tersebut ada beberapa prasayarat yang harus terpenuhi seperti tidak melanggar asas dalam pemilu, siap dalam sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia (SDM), perangkat lunak, hingga pemilih di daerah.
Namun, menurut Ihsan, KPU sampai hari ini melakukan uji publik Sirekap, belum juga memastikan terkait penggunaan e-rekap dalam Pilkada 2020. Apakah KPU akan menerapkan Sirekap di seluruh wilayah yang menggelar pilkada, bersifat pilot project di beberapa daerah atau hanya sekadar uji coba semata.
"Hal ini penting, karena terkait penggunaan e-rekap, selain penyelenggara, publik dan peserta pilkada juga perlu mendapatkan persiapan dan kepastian," kata Ihsan.
Sementara ini, Ihsan mengatakan, KPU memproyeksikan e-rekap hanya diterapkan untuk memangkas proses rekapitulasi manual yang panjang dan berjenjang. Menurutnya, KPU tidak memproyeksikan e-rekap bisa digunakan sebagai alat bukti sengketa hasil pemilihan di MK.
"KPU betul-betul baru uji publik internal dan ini yang kedua. Makanya ini agak membingungkan sebetulnya karena KPU seperti gamang untuk menerapkan e-rekap, tapi yang diuji coba hanya teknologinya saja," ujar dia.
Ia menuturkan, seharusnya KPU sudah siap dan memberikan kepastian apabila KPU ingin menerapkan e-rekap atau Sirekap pada Pilkada 2020. Ada 270 daerah baik itu pemilihan gubernur, bupati, maupun wali kota yang menggelar pemungutan serentak pada 9 Desember.
Ia menyebutkan, KPU mempunyai cukup waktu jika penerapan e-rekap ini bersifat pilot project yang hanya melibatkan daerah yang betul-betul siap. Akan tetapi, ia pesimistis apabila KPU salah menentukan daerah sebagai pilot project tersebut.
Alasannya, kata Ihsan, soal legalitas karena KPU harus melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR terlebih dahulu. Selain itu, KPU perlu melakukan sosialisasi yang masif, bukan hanya kepada penyelenggara, melainkan juga publik dan peserta pilkada yang tidak cukup di sisa-sisa waktu ini.
Apalagi, akan ada tahapan krusial seperti kampanye yang akan membutuhkan banyak fokus dan tenaga dari penyelenggara. Belum lagi bimbingan teknis yang harus dilakukan di banyak TPS dan penyempurnaan teknologi
"Dan yang terpenting adalah kepercayaan publik, KPU hanya punya sisa waktu empat bulan sebelum pungut hitung di lakukan, jika sosialisasi hanya sekadarnya, pemahaman publik akan e-rekap bisa tidak tercapai," kata Ihsan.