REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- The Indonesian Institute mencatat, setidaknya ada 52 bakal calon kepala daerah yang mengikuti Pilkada 2020 terindikasi dinasti politik. Dari jumlah tersebut, 71,5 persen bakal calon akan maju di tingkat kabupaten, dengan rincian, 27 bakal calon bupati dan 10 bakal calon wakil bupati.
"Berdasarkan tingkatan dalam Pilkada, 71,15 persen bakal calon akan berlaga di tingkat kabupaten," ujar Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, dalam diskusi daring, Kamis (27/8).
Sementara itu, 25 persen bakal calon yang terindikasi dinasti politik maju di tingkat kota, terdiri dari 10 bakal calon wali kota dan tiga bakal calon wakil wali kota. Kemudian, 3,85 persen bakal calon dari dinasti politik mencoba peruntungannya di tingkat provinsi, satu bakal calon gubernur dan satu bakal calon wakil gubernur.
Lebih lanjut, Arfianto memerinci, berdasarkan status hubungan, bakal calon dengan kepala daerah yang akan habis masa jabatannya, mantan kepala daerah, tokoh partai politik, hingga presiden dan wakil presiden. Ada 23 bakal calon merupakan anak mereka, 16 bakal calon berstatus sebagai istri, dan sembilan bakal calon adalah adik mereka.
Selain itu, terdapat satu bakal calon berstatus kakak kepala daerah. Satu orang lainnya berstatus sebagai ayah pimpinan DPRD tingkat kabupaten, satu orang keponakan menteri sekaligus pimpinan partai politik, serta satu orang besan dari menteri.
Sementara, kategori hubungan anak paling banyak maju menjadi calon wali kota sebanyak delapan orang dan calon wakil bupati enam orang. Sedangkan untuk hubungan istri, sebagian besar maju sebagai bakal calon bupati yakni 11 orang.
Apabila dikelompokkan berdasarkan gender, dari 52 bakal calon kepala daerah terbagi sama masing-masing perempuan dan laki-laki sebanyak 26 orang. Keduanya paling banyak menjadi calon bupati untuk perempuan 15 orang dan laki-laki 12 orang.
The Indonesian Institute juga mengelompokkan bakal calon kepala daerah yang terindikasi dinasti politik berdasarkan partai pengusung. Hingga 14 Agustus, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menempati urutan pertama dengan mengusung 28 bakal calon yang mempunyai hubungan kekerabatan.
Kemudian ada Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) masing-masing mengusung 23 bakal calon dari dinasti politik; diikuti Partai Nasdem dan Demokrat yang masing-masing mengusung 14 bakal calon; PKB 11 bakal calon; PBB 10 orang; lalu Gerindra, PPP, dan Hanura masing-masing delapan bakal calon; serta PSI, Perindo, dan Berkarya masing-masing dua orang.
Menurut Arfianto, praktik politik dinasti akan berkembang pada Pilkada 2020 dengan keikutsertaan bakal calon yang memiliki hubungan dengan presiden dan wakil presiden yang saat ini masih menjabat serta ketua umum partai politik besar. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dituntut bekerja profesional dan intens guna mengawasi praktik politik dinasti ini.
Dia memaparkan, langkah yang bisa dilakukan yakni mengawasi aliran dana kampanye pasangan calon, terutama calon yang berasal dari keluarga pejawat. Hal ini karena adanya kekhawatiran terhadap aliran dana kampanye yang memanfaatkan dana anggaran pendapatan belanja negara maupun daerah.
Kemudian, penyelenggara pemilu juga harus mengawasi secara ketat mobilisasi perangkat birokrasi hingga perangkat desa. Penyelenggara pemilu juga harus melakukan penegakan hukum yang tegas jika ditemukan terjadinya pelanggaran dalam Pilkada 2020 ini.
Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, dari 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020, 230 daerah diperkirakan diikuti pejawat kepala daerah. Dalam Indeks Kerawanan Pemilihan yang sudah disusun Bawaslu, ada beberapa potensi yang bisa terjadi dengan adanya dinasti politik dalam pilkada
"Pertama bisa terjadi pemanfaatan anggaran atau fasilitas pemerintah terhadap yang berkuasa bagi kerabatnya yang maju sebagai calon kepala daerah," kata Ratna dalam kesempatan yang sama.
Dia menyebutkan, pemilihan wali kota Tangerang Selatan diikuti anak dari wakil presiden, anak presiden juga diketahui menjadi bakal calon wali kota Solo, dan menantu presiden juga ikut menjadi bakal calon wali kota Medan di Pilkada 2020. Potensi yang tak bisa dihindari yang menjadi fokus pengawasan Bawaslu adalah melakukan mobilisasi birokrasi aparatur sipil negara (ASN) dan penggunaan fasilitas negara.
Menurut Ratna, Bawaslu akan melakukan pengawasan dengan ketat terhadap berbagai potensi pelanggaran pemilihan. Kendati, dia juga merasa penyelenggara pilkada tidak mudah menghadapi tantangan ini.
"Tantangan 2020 ini tidak kecil karena bisa melibatkan pemegang kekuasaan tertinggi yang ada di dalam negara," tutur dia.