Rabu 02 Sep 2020 12:25 WIB

China Gandakan Jumlah Hulu Ledak Nuklir, Pentagon Waswas

Pentagon untuk kali pertama mengungkap kapasitas hulu ledak nuklir China

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Kendaraan militer China, ilustrasi
Foto: AP Photo/Andy Wong
Kendaraan militer China, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pentagon mengatakan militer China sedang berupaya menggandakan kapasitas dan persediaan hulu ledak nuklirnya pada dekade ini. Beijing disebut ingin menyamai kekuatan pertahanan Amerika Serikat (AS).

"Tampaknya Beijing akan berusaha untuk mengembangkan militer pada pertengahan abad yang setara dengan, atau dalam beberapa kasus lebih tinggi dari militer AS, atau kekuatan besar lainnya yang dipandang China sebagai ancaman," kata Pentagon dalam laporannya pada Selasa (1/9).

Baca Juga

Dalam prosesnya, China akan berupaya agar hulu ledak nuklir itu dapat dibawa oleh rudal balistik yang dapat diluncurkan melalui darat, laut, dan udara. Menurut Pentagon saat ini hulu ledak yang dimiliki China berjumlah kurang dari 200. Itu pertama kalinya Pentagon mengungkap informasi tersebut.

Dalam 10 tahun, jumlah hulu ledak nuklir China diperkirakan akan meningkat dua kali lipat. Kendati demikian, AS bakal tetap lebih superior dibanding China. Sebab, saat ini Washington diperkirakan memiliki 3.800 hulu ledak nuklir yang siap dioperasikan dan lebih banyak cadangan.

Namun, Pentagon menyebut jika China dapat meraih ambisi militernya, termasuk mengimbangi kekuatannya dengan AS, hal itu dapat memiliki implikasi serius bagi kepentingan nasional Negeri Paman Sam serta keamanan tatanan berbasis aturan internasional. Dalam laporannya Pentagon mengungkapkan bahwa militer China telah menyamai dan melampaui militer AS di beberapa bidang, antara lain pembuatan kapal, rudal balistik dan jelajah darat, serta sistem pertahanan udara.

Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah berulang kali mendesak China bergabung dalam perjanjian senjata nuklir trilateral dengan Rusia. Namun, China selalu menolak dengan dalih bahwa jumlah senjata nuklir mereka masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Washington dan Moskow. Beijing bersedia terlibat dalam perjanjian semacam itu jika AS bersedia mengurangi persenjataannya hingga setara dengan China.

AS dan Rusia telah sama-sama keluar dari kesepakatan Intermediate-range Nuclear Forces (INF). Perjanjian itu ditandatangani kedua negara pada 1987. INF melarang Washington dan Moskow memproduksi dan memiliki rudal nuklir dengan daya jangkau 500-5.500 kilometer.

Perjanjian INF bubar karena Rusia dan AS saling tuding telah melanggar poin-poin kesepakatan. Kedua negara juga tergabung perjanjian New START (Strategic Arms Reduction Treaty) yang ditandatangani pada 2010. Perjanjian itu melarang Washington dan Moskow mengerahkan lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir, membatasi rudal, dan pembom berbasis darat serta kapal selam yang mengirimnya.

New START akan berakhir pada Februari 2021. Ia bisa diperpanjang hingga lima tahun jika AS dan Rusia menyetujuinya. Namun, Trump berulang kali mengutarakan keinginannya melibatkan China dalam perjanjian semacam itu. Pada Mei lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan negaranya menganggap masalah aksesi China ke perjanjian New START dapat diselesaikan secara perlahan. Dia menekankan Rusia siap mendukung skema multilateral yang akan berkontribusi serta memastikan keamanan dan stabilitas global.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement