Daniel Agus Setiyadi (70) saat panen kangkung hasil tani miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9). Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak. Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah. Republika/Putra M. Akbar (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)
Daniel Agus Setiyadi (70) saat panen kangkung hasil tani miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9). Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak. Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah. Republika/Putra M. Akbar (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)
Daniel Agus Setiyadi (70) membawa cangkul di lahan pertanian miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9). Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak. Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah. Republika/Putra M. Akbar (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)
Daniel Agus Setiyadi (70) menunjukan kangkung hasil tani miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9). Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak. Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah. Republika/Putra M. Akbar (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)
Daniel Agus Setiyadi (70) menyiram tanaman di lahan pertanian miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9). Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak. Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah. Republika/Putra M. Akbar (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)
Daniel Agus Setiyadi (70) menyiram tanaman di lahan pertanian miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9). Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak. Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah. Republika/Putra M. Akbar (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)
Daniel Agus Setiyadi (70) menyiram tanaman di lahan pertanian miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9). Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak. Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah. Republika/Putra M. Akbar (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)
Daniel Agus Setiyadi (70) saat panen kangkung hasil tani miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9). Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak. Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah. Republika/Putra M. Akbar (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)
Daniel Agus Setiyadi (70) saat mencangkul di lahan pertanian miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9). Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak. Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah. Republika/Putra M. Akbar (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)
inline
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Daniel Agus Setiyadi (70) membawa cangkul di lahan pertanian miliknya di kawasan Ciracas, Jakarta, Jumat (4/9).
Menurutnya omzet yang didapat dari kesehariannya bercocok tanam mengalami penurunan drastis sejak pandemi Covid-19, akibat mahalnya harga bibit dan pupuk yang semakin mahal, tapi penjualan menurun banyak.
Dalam satu hari yang biasanya bisa menghasilkan 1.500-2.000 ikat sayuran, kini hanya bisa menghasilkan 25-50 ikat serta kendala distribusi yang biasanya dipasarkan melalui tengkulak sekarang hanya bisa dijual dari rumah ke rumah.
Advertisement