REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, terdapat dua teori untuk menjelaskan penyebab cuaca akhir-akhir ini yang terasa lebih gerah dari biasanya. Kedua teori tersebut sama-sama bertumpu pada pola kemarau tahun ini.
Kepala Sub Bidang Peringatan Dini Iklim BMKG Supari, mengatakan, teori pertama adalah karena kombinasi suhu yang tinggi dan kelembaban yang juga tinggi. Kemarau tahun ini menyebabkan suhu permukaan rata-rata di seluruh Indonesia selama Agustus (24-27 derajat Celcius) lebih tinggi satu derajat dari pada suhu normal.
Sedangkan kelembaban udara permukaan sepanjang Agustus, lanjut dia, juga lebih lembab dari biasanya. Berkisar lima persen di atas kelembaban normal.
"Kondisi udara lembab dengan suhu tinggi (tersebut yang) menyebabkan udara terasa lebih gerah," kata Supari ketika dihubungi Republika, Ahad (6/9).
Teori kedua adalah karena radiasi yang dilepaskan bumi terperangkap oleh awan di atmosfer paling bawah. Sebab, kemarau tahun ini di beberapa wilayah disertai dengan pertumbuhan awan yang relatif lebih banyak dibanding biasanya. Ditandai dengan kondisi hujan di atas normal di sejumlah tempat.
"Ada teori yang mengatakan bahwa ketika banyak terbentuk awan, maka radiasi yang dilepaskan bumi menjadi terperangkap di atmosfer bawah. Sehingga menambah rasa gerah," terang Supari.
Supari menambahkan, fenomena gerah yang dirasakan sekarang bisa jadi pula karena gabungan dari dua teori tersebut. "Perlu juga dipahami bahwa karena kompleksitas atmosfer, umumnya tidak ada kejadian yang disebabkan faktor tunggal," katanya menegaskan.