Rabu 09 Sep 2020 17:45 WIB

Bawaslu Pesimistis Potensi Calon Tunggal di Pilkada Turun

Terdapat 28 daerah berpotensi menggelar pilkada dengan calon tunggal.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu Umum (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalolo, pesimistis jumlah potensi bakal pasangan calon tunggal di Pilkada 2020 akan menurun hingga akhir masa perpanjangan pendaftaran. Bawaslu mencatat, terdapat 28 daerah berpotensi menggelar pilkada dengan calon tunggal.

"Kita mungkin agak pesimis ya akan ada pengurangan dari angka yang sudah ada saat ini," ujar Ratna dalam diskusi daring bertema oligarki parpol dan fenomena calon tunggal, Rabu (9/9).

Baca Juga

Menurut dia, terjadinya hanya satu bakal pasangan calon yang mendaftar di sejumlah daerah merupakan desain elite partai politik. Dukungan gabungan partai politik yang memiliki mayoritas kursi parlemen di daerah hanya dapat melahirkan satu pasangan calon saja.

"Karena sepertinya memang kehadiran pasangan calon tunggal ini adalah sebuah desain yang sangat luar biasa dari elite-elite partai politik sehingga semua dukungan mengarah kepada satu pasangan calon yang melahirkan pasangan calon tunggal," kata Ratna.

Dalam catatannya, angka calon tunggal dalam penyelenggaraan pilkada kian meningkat. Pada Pilkada 2015, calon tunggal terjadi di tiga daerah, kemudian meningkat pada Pilkada 2017 menjadi sembilan daerah, dan naik pula di Pilkada 2018 menjadi 18 daerah.

Ia mengatakan, mereka yang maju sebagai pasangan calon tunggal, umumnya memiliki akses sumber daya yang besar, baik uang maupun kekeuasaan. Dengan begitu, kandidat tersebut mampu mengantongi dukungan besar atau rekomendasi partai politik maju di pilkada.

"Sehingga menutup ruang ruang dari pasangan calon lain untuk bisa melakukan akses yang sama dan kemudian bisa ikut di dalam kompetisi sebagai kontestan di pemilihan tahun 2020," jelas Ratna.

Sementara itu, lanjut dia, potensi calon tunggal cenderung menimbulkan potensi pelanggaran pemilihan seperti praktik mahar politik. Kemungkinan bakal pasangan calon menutup peluang munculnya kandidat lain dengan melakukan praktik mahar politik untuk memborong dukungan partai.

Selain mahar politik, akibat calon tunggal juga memicu terjadinya politik uang. "Misalnya untuk calon tunggal yang kemudian juga plus petahana, akses untuk mobilisasi pemilih, kemudian melakukan intimidasi, memanfaatkan sumber daya jabatan yang dimiliki baik fasilitas jabatan, anggaran, yang kemudian bisa digunakan untuk politik uang," kata Ratna.

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mencatat, hingga pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon) Pilkada 2020 ditutup pada Ahad (6/9) pukul 24.00, terdapat 28 kabupaten/kota dengan satu bapaslon yang mendaftar. Dengan demikian, 28 daerah itu berpotensi menggelar pilkada dengan satu paslon atau calon tunggal.

Sebanyak 28 kabupaten/kota penyelenggara Pilkada 2020 yang terdapat bapaslon tunggal, yakni Ngawi dan Kediri (Jawa Timur); Kebumen, Wonosobo, Sragen, Boyolali, Grobogan, dan Kota Semarang (Jawa Tengah); Bintan (Kepulauan Riau); Sungai Penuh (Jambi); Badung (Bali); Gowa Soppeng (Sulawesi Selatan); Manokwari Selatan dan Raja Ampat (Papua), serta Pegunungan Arfak (Papua Barat).

Ada pula Sumbawa Barat (Nusa Tenggara Barat); Pasar Manuk (Sumatera Barat); Pematangsiantar, Serdang, Bedagai, Gunungsitoli, dan Humbang Hasundutan (Sumatera Utara); Mamuju Tengah (Sulawesi Barat); Hulu Utara (Bengkulu); Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering Ulu Selatan (Sumatera Selatan); serta Balikpapan dan Kutai Kertanegara (Kalimantan Timur). 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement