REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, selain penegakan hukum dan sanksi, perlu juga memikirkan upaya pendidikan pemilih kepada masyarakat tentang risiko atau bahaya pandemi Covid-19. Sebab, menurut dia, di sisi lain, harapan tingkat partisipasi yang tinggi dalam Pilkada 2020 harus dipikirkan.
"Selain sanksi kita juga sebetulnya perlu memikirkan cara-cara dan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan pendidikan pemilih, memberikan suatu edukasi kepada masyarakat tentang risiko atau bahaya pandemi Covid ini," ujar Raka dalam diskusi daring terkait evaluasi penerapan protokol kesehatan dalam pilkada, Selasa (15/9).
Ia menuturkan, apabila hanya berpedoman pada sanksi sementara di sisi lain pilkada diharapkan tingkat partisipasinya tinggi, tentu ini sangat kontradiktif. Di samping KPU mengatur pembatasan, kemudian terjadi pelanggaran dan diberikan sanksi, tetapi di sisi lain diharapkan partisipasi yang tinggi.
"Kalau kita berpikir seperti itu tetapi kita yakin bapak/ibu sekalian kita jauh ke depan bagaimana aspek-aspek kesehatan kemudian aspek demokrasi berjalan kemudian pengaturan sangat penting untuk berupaya ke arah itu," kata Raka.
Sebelumnya, Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, KPU tidak mengatur jenis sanksi administrasi bagi pelanggar aturan protokol kesehatan dalam kegiatan pilkada. Menurut dia, Bawaslu dapat memberikan rekomendasi sanksi administrasi bagi pelanggaran protokol kesehatan yang bersifat administratif.
Namun, jenis sanksi administrasi tersebut tidak diatur tegas dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang perubahan atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada serentak lanjutan dalam kondisi bencana nonalam Covid-19. Sementara sanksi administrasi dapat berupa pembatalan sebagai calon, teguran lisan, peringatan tertulis, tidak dibolehkan mengikuti kampanye, hingga diskualifikasi.
"Ini mungkin perlu dilakukan perbaikan agar sanksi tegas terhadap pelanggaran protokol kesehatan yang diatur PKPU Nomor 6/2020 ini lebih konkret," ujar Ratna dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menegaskan, pengaturan yang keras dalam PKPU seperti penjatuhan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan justru dapat berpotensi menimbulkan gugatan. Sebab, hal itu memang tidak diatur dalam undang-undang pemilihan saat ini.
Hadar mengatakan, sanksi memang penting diatur sebagai antisipasi terjadinya pelanggaran. Akan tetapi, hal utama yang harus dilakukan adalah melarang atau mencegah potensi pelanggaran protokol kesehatan yang menyebabkan risiko penyebaran Covid-19 tersebut dalam setiap kegiatan pilkada.
"Sanksi ok penting di belakang, kalau sudah terjadi. Sekarang kan yang harus kita hindarkan jangan sampai terjadi karena justru di situ lah terjadi penyebaran Covid itu sudah berlangsung," tutur Hadar saat dihubungi Republika, Selasa.
Ia mengatakan, sanksi perlu diatur dalam peraturan perundangan-undangan. Maka, ia mendesak penundaan pilkada agar pemerintah, penyelenggara pemilihan, dan DPR menyiapkan undang-undang pemilihan yang mengatur mekanisme pelaksanaan pemilihan di tengah pandemi.
"Jadi dilarang saja semua pertemuan-pertemuan itu, kita ubah. Untuk seperti itu undang-undangnya harus diubah, enggak cukup dalam peraturan. Menurut saya kita jeda dulu, kita rapikan secara lebih cermat, baru kita lanjutkan lagi," kata Hadar.