REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Para pengunjuk rasa berkumpul di Bangkok untuk unjuk rasa paling ambisius sejauh ini dalam kampanye pro-demokrasi pada Sabtu (19/9). Pergerakan ini telah mengguncang pemerintah dan lembaga konservatif Thailand selama beberapa bulan belakangan.
Penyelenggara memperkirakan sebanyak 50 ribu orang akan muncul dan berbaris selama dua hari di daerah ibu kota yang secara historis terkait dengan protes politik. Diperkirakan 10 ribu orang menghadiri rapat umum besar terakhir pada 16 Agustus. Kali ini, partai politik oposisi diharapkan bergabung dan memobilisasi pendukung dari provinsi lain.
Para pengunjuk rasa mengabaikan permohonan dari Perdana Menteri, Prayuth Chan-ocha, untuk membatalkan acara tersebut pada Kamis (17/9). Dia menyatakan, unjuk rasa itu akan berisiko menyebarkan virus corona dan menggagalkan pemulihan ekonomi yang terpukul.
Sekitar 8.000 polisi dilaporkan dikerahkan untuk protes akhir pekan dan kemungkinan konfrontasi tampak tinggi. Penyelenggara protes telah mengatakan bahwa akan menggunakan Thammasat University dan lapangan Sanam Luang sebagai tempat unjuk rasa, meski izin untuk melakukannya telah ditolak.
Tuntutan utama masih sama dengan yang dideklarasikan oleh para pengunjuk rasa pada Juli. Mereka menuntuk pembubaran parlemen dengan diadak pemilihan baru. Mereka pun meminta konstitusi baru dan diakhirinya intimidasi terhadap aktivis politik.
Demonstran percaya Prayuth yang menjadi komandan militer memimpin kudeta tahun 2014 mendapatkan kekuasaan secara tidak adil dalam pemilihan umum tahun lalu. Hal ini diduga berkat undang-undang yang telah diubah untuk mendukung partai pro-militer.
Sebagian besar aktivis mahasiswa meningkatkan tuntutan selama demonstrasi 10 Agustus dengan mengeluarkan 10 poin manifesto yang menyerukan reformasi pada sistem monarki. Tuntutan mereka berusaha untuk membatasi kekuasaan raja, menetapkan pengaturan yang lebih ketat atas keuangan istana, dan memungkinkan diskusi terbuka tentang monarki.
Keberanian pengunjuk rasa ketika itu hampir tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebab, monarki dianggap sakral di Thailand. Setiap kritik yang dilayangkan kepada Kerajaan biasanya dirahasiakan. Undang-undang lese majeste menyerukan hukuman penjara tiga hingga 15 tahun bagi siapa pun yang terbukti bersalah mencemarkan nama baik institusi kerajaan.
Profesor emeritus dari University of North Carolina dan sarjana studi veteran Thailand, Kevin Hewison, melihat terlalu muda untuk terperangkap dalam pertempuran politik partisan yang kadang-kadang penuh kekerasan yang mengguncang Thailand satu dekade lalu. "Para mahasiswa kebanyakan melakukannya sendiri, menghasilkan beberapa tuntutan radikal dan protes yang sangat berbeda," katanya.
Hewison menjelaskan, langkah kaum muda Thailand ini bertindak berbeda dan sangat membingungkan rezim. "Apa yang dilihat oleh rezim dan pendukungnya adalah anak-anak yang relatif kaya berbalik melawan mereka dan ini membingungkan mereka," ujarnya.
Mahasiswa telah meluncurkan gerakan protes sejak Februari. Unjuk rasa dilakukan di universitas-universitas di seluruh negeri. Langkah ini sebagai reaksi atas putusan pengadilan yang membubarkan Partai Future Forward yang populer dan melarang para pemimpinnya dari aktivitas politik selama 10 tahun.
Partai tersebut memenangkan jumlah kursi tertinggi ketiga dalam pemilihan umum tahun lalu dengan sikap anti-kemapanan yang menarik pemilih yang lebih muda. Pembubaran partai ini dipandang sebagai sasaran karena popularitasnya dan bersikap kritis terhadap pemerintah dan militer.
Protes publik ditangguhkan pada Maret ketika Thailand mengalami wabah besar pertama virus corona. Pemerintah menyatakan keadaan darurat untuk mengatasinya. Keputusan darurat masih berlaku, dan para kritikus menuduh keputusan itu digunakan untuk mengekang perbedaan pendapat.