Sabtu 26 Sep 2020 16:23 WIB

Bidayah al Hidayah, Jalan Meraih Hidayah Allah

Hidayah tak akan bisa diperoleh jika seseorang tak pernah memahami jati dirinya.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Bidayah al Hidayah, Jalan Meraih Hidayah Allah. Foto: Imam Al-Ghazali (ilustrasi).
Foto: encyclopedia.com
Bidayah al Hidayah, Jalan Meraih Hidayah Allah. Foto: Imam Al-Ghazali (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap manusia menginginkan dirinya hidup bahagia dan senantiasa berada dalam bimbingan dan hidayah (petunjuk) Allah SWT. Namun, tidaklah mudah untuk meraihnya. Banyak tantangan dan rintangan yang selalu menghadang.

Bahkan, kendati sudah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan petunjuk, jika Allah belum menghendakinya, hal itu pun tidak bisa segera didapatkan.

Baca Juga

''Barang siapa yang Allah kehendaki akan diberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan, barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.'' (QS Al An'aam: 125).

''Sesungguhnya, kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.'' (QS Alqashah: 56).

Masih banyak keterangan senada yang menggambarkan bahwa hidayah itu adalah kehendak Allah. Misalnya, dalam surah al-An'aam ayat 39; Albaqarah ayat 142, 213, dan 272; Almudatsir ayat 31; Ali Imran ayat 73; Annahl ayat 93; Asysyuura: 13; Azzumar ayat 23; Faathir ayat 22 dan 25.

Namun, menurut Syaikhul Islam, Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali (w 1111 M), ada cara-cara yang bisa dilakukan seseorang agar hidayah (petunjuk) Allah itu senantiasa menyertainya. Di antaranya adalah senantiasa taat (patuh) beribadah kepada Allah, menghindarkan diri dari perbuatan dosa, bergaul dengan orang-orang saleh, dan senantiasa berlaku sopan dan santun (adab).

''Jika hal itu sesuai dengan dirimu dan engkau rasakan hatimu condong kepadanya serta ingin mengamalkannya, ketahuilah bahwa engkau adalah seorang hamba yag disinari oleh Allah SWT dengan cahaya iman di hatimu dan yang karenanya Allah melapangkan dadamu,'' kata Al-Ghazali.

Tiga hal

Kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam Al-Ghazali ini sangat penting dipelajari setiap umat Islam. Apalagi, bagi mereka yang baru mengenal Islam atau mereka yang berusaha selalu mendapatkan hidayah Allah dalam hidupnya.

Secara umum, penjelasan dalam kitab ini hampir sama dengan Ihya 'Ulum al-Din karya Al-Ghazali. Namun demikian, kitab Bidayah al-Hidayah ini adalah ringkasan dari magnum opus-nya tersebut.

Setidaknya, ada tiga hal penting yang perlu diketahui umat dalam meraih hidayah (petunjuk) Allah tersebut dalam kehidupannya. Yakni, bagian adab-adab ketaatan, meninggalkan maksiat (dosa), dan cara bergaul dengan manusia.

''Secara keseluruhan, kitab Bidayah Al-Hidayah ini berisi tiga hal pokok tersebut. Masing-masing bagian pembahasan mencakup pergaulan seorang hamba dengan Sang Maha Pencipta dan dengan sesama manusia,'' kata Ismail Ba'adillah, penyunting buku-buku Islam.

Karena berisi seperti ringkasan, kitab Bidayah al-Hidayah ini cukup tipis bila dibandingkan karya-karya al-Ghazali lainnya. Kendati ukurannya kecil dan tipis, makna serta manfaatnya sangat bear bagi umat. Kandungan yang terdapat di dalamnya bagaikan harta karun yang terselip di antara halaman dan baris-barisnya.

''Pembahasan dalam bagian kitab yang sederhana ini memuat proses awal seorang hamba mendapatkan hidayah dari Allah SWT, di mana sang hamba membutuhkan pertolongan dan bimbingan dari-Nya. Juga, menjelaskan seputar halangan (pasif) atau rintangan (aktif) yang tersebar di sekitarnya, yaitu ketika sang hamba berusaha untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT,'' lanjut Ismail Ba'adillah.

Kemudian, dilanjutkan dengan pembahasan seputar kedudukan ilmu dan amal dalam pandangan kebenaran (al-Haq) beserta siasat nafsu yang cenderung menyesatkan para pencari ilmu dengan mengajaknya menempuh jalan yang salah. Sehingga, berakhir pada penyesalan dan penderitaan bagi hamba yang menuntutnya.

Adapun inti dari pembahasan kitab ini adalah pentingnya adab (etika) dalam beramal dan beribadah, baik dalam pengertian yang bersifat sharih (sesuai dengan apa yang terdapat dalam Alquran dan sunah) maupun yang bersifat interpretatif dari pendapat penulis (Al-Ghazali).

Imam Al-Ghazali mewanti-wanti setiap Muslim, khususnya mereka yang membutuhkan pertolongan Allah, untuk tidak tertipu dengan bujuk dan rayuan setan. Sebab, setan akan menjerat manusia dengan tali tipu dayanya sehingga ia akan tergelincir dari jalan yang benar.

Karena itu, Al-Ghazali mengingatkan para penuntut ilmu (Muslim) untuk terjerumus kepada hal-hal yang sesat. Ia menyebutkan, ada tiga jenis manusia dalam menuntut ilmu.

Pertama, orang yang mencari ilmu untuk dijadikan bekal menuju akhirat. Ia menuntut ilmu semata-mata hanya mengharap ridha Allah dan kepentingan di negeri akhirat. Inilah orang yang beruntung.

Kedua, orang yang mencari ilmu untuk dijadikan sarana bagi kepentingan kehidupan dunia yang bersifat sementara, yakni hanya meraih kejayaan, kedudukan, dan harta benda. Ia adalah orang yang berilmu dan merasa hebat dengan apa yang telah diraihnya. Padahal, kata Al-Ghazali, orang yang demikian ini adalah orang yang sesat.

Dirinya akan senantiasa khawatir dengan akhir hidupnya jatuh miskin, melarat, dan lainnya. ''Jika ia meninggal dunia sebelum bertobat, ia dikhawatirkan akan meninggal dunia dalam keadaan su'ul khatimah (akhir yang buruk),'' jelasnya.

Namun, jika ia mampu memperbaiki dirinya dan mengamalkan ilmunya, niscaya ia termasuk golongan orang-orang yang beruntung.

Ketiga, orang yang dirinya telah dikuasai oleh setan. Ia menjadikan ilmunya sebagai sarana untuk memperbanyak harta benda, meraih kedudukan yang bisa dibangga-banggakan, dan menghimpun banyak pengikut yang bisa dimanfaatkan. Ia menggunakan ilmunya dalam setiap kesempatan untuk meraih kepentingan duniawi meski yakin ia mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah karena merasa dirinya seorang yang alim (ulama).

''Padahal, itu hanya dari segi penampilan atau ucapannya, sedangkan lahir batinnya sangat rakus terhadap urusan dunia. Inilah orang yang binasa, bodoh, dan tertipu,'' tegas Al-Ghazali.

Dalam kitabnya Al-Kasyf wa al-Tibyan Ghurur fi Khalqi Ajma'in (Manusia-manusia Tertipu), Al-Ghazali menyebutkan empat golongan yang tertipu, yaitu ulama (cendekiawan), hartawan, ahli ibadah, dan ahli tasawuf. ''Mereka merasa hebat dengan apa yang telah diperolehnya,'' kecam Al-Ghazali.

Menurut Al-Ghazali, hidayah Allah tak akan bisa diperoleh jika seseorang tak pernah memahami jati dirinya. Memahami siapa dirinya, Zat yang menciptakannya, dan semua yang terkandung di alam semesta ini. Wa Allahu A'lam.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement