REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho
Anggaran untuk fungsi pertahanan mendapatkan angka terbesar kedua di Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2021 yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Anggaran yang bakal dikoordinir oleh Kementerian Pertahanan itu berdasarkan RAPBN berjumlah Rp 136,9 triliun, hanya lebih rendah dari Kementerian PUPR.
Namun, menjadi pertanyaan tersendiri apakah anggaran tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan pertahanan Indonesia pada 2021. Belum lagi, pandemi Covid-19 juga mengubah postur penggunaan anggaran pada Kementerian di Indonesia, tak terkecuali kemenhan.
Hingga saat ini, Rabu (23/9), Kemenhan masih melakukan rapat bersama Komisi I DPR RI untuk membahas anggaran. Terakhir, Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengungkapkan, dari Rp 136,9 triliun, Kemenhan masih ingin menambah sekira Rp 19 triliun dan 10 triliun lantaran masih ada kebutuhan yang tidak terpenuhi dari pagu yang ditentukan RAPBN tersebut.
"Komisi I sudah mendengarkan penjelasan tersebut dan mengusulkan kepada Badan Anggaran DPR RI soal keperluan Kemhan/TNI tersebut," kata politikus PKS itu pada Republika.co.id.
Kendati demikian, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP TB Hasanuddin menyatakan bahwa anggaran Kemenhan itu belum final. "Belum final, masih satu kali atau dua kali rapat lagi," ujar Legislator yang merupakan Purnawirawan TNI itu saat dikonfirmasi Republika.co.id.
Berdasarkan Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN Tahun Anggaran 2021, pemerintah disebut akan terus melanjutkan kegiatan prioritas dan strategis dalam rangka mendukung terwujudnya pemenuhan Minimum Essential Force (MEF) secara bertahap. Beberapa output strategis yang akan dicapai dalam fungsi pertahanan pada tahun 2021, antara lain dukungan pengadaan alutsista sebesar Rp 9,3 triliun; dan pembangunan jalan inspeksi pengamanan perbatasan (JIPP) sepanjang 375 km.
Selain itu, akan dilakukan pula modernisasi dan pemeliharaan dan perawatan alutsista arhanud, overhaul pesawat terbang dan heli angkut pada TNI AD, pengadaan kapal patroli cepat, peningkatan pesawat udara matra laut, serta pemeliharaan dan perawatan alutsista dan komponen pendukung alutsista pada TNI AL, pengadaan Penangkal Serangan Udara (PSU) dan material pendukung, serta pemeliharaandan perawatan pesawat tempur pada TNI AU.
Kemenhan menyiapkan anggaran Rp 2,65 triliun untuk pengadaan material dan alutsista strategis serta Rp 1,23 triliun untuk pemeriksaan dan perawatan alutsista. Pemerintah juga berencana melakukan peningkatan kesejahteraan prajurit yaitu pembangunan rumah dinas prajurit.
Kemenhan sendiri belum menjelaskan secara rinci pada publik terkait fokus dan rincian penggunaan anggaran yang mencapai Rp 137 triliun itu. Namun, berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2021 oleh Kementerian Keuangan menyatakan, alokasi anggaran fungsi pertahanan tahun 2021, digunakan untuk mendukung pencapaian target prioritas pembangunan nasional bidang pertahanan.
Target itu dilakukan dengan tujuan mendukung stimulus pemulihan ekonomi; melanjutkan multiyears contract; dan menyelesaikan carry over kegiatan tahun 2020. Tujuan berikutnya yakni melanjutkan prioritas K/L dan Prioritas Nasional; memenuhi biaya operasional, melaksanakan dukungan operasional pertahanan; serta melaksanakan pembinaan dan pendidikan kewargaan, wawasan kebangsaanngsaan dan bela negara.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi enggan berbicara banyak soal fokus anggaran tersebut. Sebab, anggaran itu sendiri masih dalam proses pembahasan dan masih dapat dikoreksi DPR RI. Namun, ia mengakui beberapa program Kemenhan memang merupakan program yang diajukan TNI sebagai salah satu Kuasa Pemegang Anggaran (KPA) di Kemenhan. Ada lima KPA di Kemenhan, yakni Setjen Kemhan, Panglima TNI untuk unit TNI, Kasad untuk TNI AD, Kasal untuk TNI AL dan KASAU untuk TNI AU.
"Jadi pengajuan programnya itu bottom up, angkatan ke Mabes dan Kemhan. Jadi itu sudah umumlah. Itu kan program itu memang yang diajukan Kementerian Pertahanan dan organisasinya. Itu kan masih rencana, nanti jadi APBN dalam bentuk UU dan nanti bisa saja berubah," ujar Sisriadi pada Republika.co.id.
Sementara, Guru Besar Ilmu Politik dan Pertahanan Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi mengatakan besarnya anggaran Kemenhan tersebut masih belum memenuhi angka 'normal'. Kebutuhan anggaran optimal adalah 1,5 sampai 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kalau GDP kita sekitar 4000 an triliun kurang lebih kita butuh sekitar 350-400 triliun untuk pertahanan minimum," kata Muradi pada Republika.co.id.
Namun, meski Rp 137 triliun masih jauh di bawah kebutuhan optimal, Muradi menilai hal itu tidak mengherankan. Sebab, kemampuan keuangan Indonesia memang belum mampu untuk mewujudkan kebutuhan itu. Maka menjadi pertanyaan bagaimana Indonesia bisa memenuhi kebutuhan pertanyaan, misalnya dalam hal memperbarui alutsista.
"Kalau mau serius modernisasi alutsista maka tidak bisa berpegang penuh dalam APBN," ujar Muradi.
Maka itu, kata Muradi, harus ada upaya ekstra dari pemerintah agar kebutuhan anggaran petshanan bisa terpenuhi. "Harus ada namanya diskresi dari pemerintah, apa bentuk diskresinya harus dari anggaran - anggaran di luar. Perlu kebijkann lain agar tidak terpaku pada APBN," kata dia.
Rintangan dan kerawanan anggaran
Dalam beberapa waktu terakhir, isu terkait penggunaan anggaran untuk fungsi pertahanan juga mengalami dinamika. Kontroversi muncul saat Menhan Prabowo Subianto ingin membeli Eurofighter Typhoon, pesawat bekas dari Austria. Muncul juga Isu 'tunggakan' dalam kerja sama pesawat tempur KF-X dengan Korea Selatan. Prabowo juga sempat disebut membatalkan kontrak alutsista senilai Rp 50 triliun karena dianggap ada suatu masalah.
Muradi mengatakan, penggunaan anggaran dalam rangka alutsista memang memiliki kendala tersendiri. Dalam hal angka, Anggaran Kemenhan RI dinilainya kecil. Maka itu perlu upaya tertentu untuk memenuhi kebutuhan.
Ia mencontohkan isu pembelian pesawat bekas Eurofighter Typhoon. Ia menilai, bila pembelian itu benar berlanjut, maka ia menilai hal tersebut akan merugikan Indonesia.
"Kalau belinya gelondongan begitu kita rugi. Kecuali kita bisa mendesak pemerintah Austria untuk meminta mengajukan PTDI sebagai tempat untuk maintenance. Artinya ada transfer of technology walaupun sedikit," ujar dia.
Menurut Muradi, terbatasnya anggaran juga menuai masalah tersendiri dalam pembelian yang dilakukan Kemenhan. Ia menyebut, Kemenhan kerap kali kesulitan membeli langsung, sehingga membutuhkan bantuan pihak ketiga.
"Problem problem kenapa menjadi rawan, karena seringkali pembelian dari Kemhan sekalipun, faktualnya kita tidak dalam posisi anggaran yang normatif. Makanya kita sering minta tolong pihak ketiga. Karena itu kerap lebih mahal," ujar Muradi.
"Jadi memang selama kita tidak bisa memiliki dana cash maka kita akan menggunakan pihak ketiga, pihak ketiga ini yang sering disebut rawan, makanya harus ada diskresi," kata Muradi kembali menjelaskan.
Juru Bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, saat ini Kemenhan memang sedang berupaya mengatur prioritas. Ia mengatakan, pandemi Covid-19 juga mau tak mau turut membayangi fungsi pertahanan Indonesia.
"Ada yang terpengaruh karena saking kapasitas fiskal kita agak melemah begitu dan itu adalah fakta," ujar Dahnil.
Dahnil mengatakan, Kemenhan saat ini berusaha untuk menetapkan prioritas belanja pertahanan dengan oportunity cost yang lebih tinggi. Sehingga, Kemenhan harus mereview kontrak-kontrak yang ada. Ia mencontohkan proyek kerja sama KF-X IFX dengan Korsel. Maka, untuk penyesuaian tersebut, Prabowo tak mau sembarangan.
"Ketika Pak Prabowo masuk memang projek itu ada sedikit masalah, ada komitmen yang tidak seusai dan macam-macam sehingga Pak Prabowo memberi pandangan ke Presiden terkait proyek ini," ujar dia.
Setelah 2017 Indonesia mengajukan renegosiasi, di mana pada saat itu, pemerintah Korsel belum menyepakati permintaan kita terkait penurunan cost share Indonesia dari 20 persen menjadi 15 persen. Namun, Indonesia hanya memperoleh pengurangan menjadi 18,8 persen.
In Picture: Kapal Selam Alugoro Lakukan Uji Coba di Selat Bali
Rencana strategis
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP TB Hasanuddin mengungkapkan, pada dasarnya, anggaran untuk Kemenhan tak bisa lepas dari hakekat ancaman yang kemudian dituangkan dalam rencana strategis (renstra). Renstra itu, kata Hasanuddin, sudah ada sejak tahun 2008 beserta kisaran anggarannya.
"Dibuatlah yang namanya buku putih, tapi karena agak kebiruan buku itu disebut Blue Book, itu sudah dibuat prediksi ancaman kemudian standar penangkapan, postur TNI dan keuangan yang harus disiapkan," kata Hasanuddin.
Ada tiga jangka renstra yang dibuat. Pertama 2009-2014, kedua 2015-2019, ketiga 2020-2024. Menurut Hasanuddin, jumlah anggaran per tahun memang akan terus dinaikkan, agar diharapkan sampai tahun 2024 jumlahnya bisa mencapai sekira Rp 150 triliun.
"Sekarang ini baru di angka 137 triliun, itu sudah diprediksi. Untuk apa, sudah terbayang postur TNI di 2024 berdasarkan Renstra itu," ujarnya.
Diakui Hasanuddin jumlah tersebut memang jauh dari teori kebutuhan pertahanan yakni 1,5 - 2 persen dari total PDB Indonesia. Tetapi bagaimanapun, jumlah itu merupakan jumlah yang paling dimungkinkan dari kondisi keuangan Indonesia.
"Itu kan teorinya, tapi uangnya dari mana. Jadi jangan menghayal, kita harus melihat juga kebutuhan lain ya," ujarnya.
Oleh karena itu, Hasanuddin mengatakan, alokasi anggaran Kemenhan dari setiap menteri harus berpegang pada Renstra itu beserta aturan dan undang-undang yang ada, misalnya UU tentang Industri Pertahanan. Anggaran APBN harus digunakan untuk mendorong kemandirkan Industri pertahanan dalam negeri.
"Dari Pak Purnomo, Pak Ramizard sampai Pak Prabowo, ya ikut aja secara linier. Artinya kalau ada kebijakan jangan keluar dari renstra," ujar dia menegaskan.