REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Yayasan Arek Lintang (ALIT) yang bergerak di bidang perlindungan anak, bekerja sama dengan Koalisi Stop Child Abuse melakukan survei terkait perilaku anak di masa pandemi Covid-19. Survei yang digelar menemukan sedikitnya 500 anak menjadi perokok aktif selama pandemi Covid-19. Itu tak lain karena banyak anak-anak yang mengikuti kegiatan belajar daring dari warung kopi.
"Kebetulan saat kondisi pandemi anak-anak tidak ada kegiatan sekolah tatap muka, sehingga banyak menggunakan Wifi dan belajar daring di warung kopi. Tetapi di sana mereka juga merokok," kata Tim Baseline Survey Koalisi Stop Child Abuse, Lisa Febriyanto dalam Webinar yang diselenggarakan Kadin Jatim.
Lisa menjelaskan, temuan ini adalah hasil survei yang dilakukan di lima daerah, yakni Surabaya, Sidoarjo, Malang Raya, Jember-Banyuwangi, dan Yogyakarta. Hasil survei mengungkapkan, paling banyak anak-anak yang merokok adalah di warung kopi.
Direktur Eksekutif Alit Indonesia, Yuliani Umrah menegaskan, berdasarkan temuan survei tersebut menandakan rata-rata anak yang menjadi perokok aktif, mengalami peningkatan di masa pandemi Covid-19. Dia pun mengajak semua pihak mencari solusi atas temuan tersebut. Utamanya untuk menekan jumlah anak-anak yang menjadi perokok aktif.
"Kalau kemudian kami hanya menemukan 500 anak yang menjadi perokok, besar kemungkinan jumlah tersebut lebih dari seribu atau bahkan sepuluh ribu anak yang menjadi perokok," kata Yuliani.
Yuliani meminta temuan tersebut menjadi perhatian bersama agar dapat menentukan langkah strategis dalam upaya mencegah anak menjadi perokok aktif. Menurutnya, masalah tersebut tidak hanya bisa diselesaikan oleh pihak tertentu saja. Pemerintah maupun masyarakat perlu terlibat aktif demi menyelamatkan generasi muda. "Harapan kami ke depan, kita satu suara ke pemerintah pusat bagaimana mengatur kebijakan selanjutnya," ujar Yuliani.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Adik Dwi Putranto menyatakan, sejauh ini Kadin sangat peduli terhadap kondisi kesehatan masyarakat, termasuk kesehatan anak-anak. Dia pun menegaskan, Kadin terbuka mencarikan solusi atas temuan tersebut.
"Kalau kita bicara rokok, yang punya pabrik rokok saja tidak ingin anaknya yang kecil merokok. Begitu juga pekerjanya. Termasuk pedagang-pedagang kecil eceran saya pastikan mereka tidak mau anak-anaknya merokok. Tentu ini akan mencari titik temu," katanya.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya membenarkan, prevalensi anak perokok Indonesia memang terus mengalami kenaikan. Di 2018, kenaikannya sebesar 9,1 persen. Dia mengatakan, Gapero bersepakat untuk menurunkannya di tahun ini menjadi 8,4 persen.
"Dari industri kami tidak menghindari adanya kenaikan prevalensi perokok anak karena selama ini kami sudah melakukan aturan yang telah ditentukan. Tetapi kami tidak bisa kontrol keseluruhan rokok kalau sudah ada di market. Tetapi kami selalu memberikan imbauan kepada agen dan penjual agar tidak menjual rokok pada anak," ujarnya.
Ia mengatakan, asumsi perokok dini dipicu karena harga rokok murah, tidak sepenuhnya benar. Menurut Sulami, kebijakan pemerintah dalam mengontrol konsumsi rokok sudah banyak dilakukan. Di antaranya dengan pemungutan cukai, serta PPN dan Pajak Rokok yang mencapai 61 persen dari harga banderol rokok. Harga jual rokok yang ditentukan oleh pemerintah juga selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Sejumlah kebijakan tersebut dinilai sudah berdampak dengan menurunnya jumlah pabrik rokok di Indonesia. Pada 2007, jumlah industri rokok mencapai 4.669. di 2017, jumlah tersebut turun menjadi 779 industri. Selain itu, produksi juga turun. Ia mengatakan, faktor dominan yang menjadi penyebab perokok usia dini adalah keluarga merokok, pendidikan ayah, lingkungan sosial sekitar rumah dan teman sekolah.
"Adanya keluarga merokok yang tinggal serumah berpeluang tiga kali menyebabkan anak usia dini mengonsumsi rokok. Pendidikan ayah yang rendah berpeluang 1,4 kali lebih besar bagi anak usia dini mengonsumsi rokok," ujarnya.