REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) kembali menyunat hukuman terpidana kasus korupsi melalui pengabulan Peninjauan Kembali (PK). Kali ini giliran mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang disunat hukumannya dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara.
Menanggapi masifnya korting yang diberikan MA, Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayuz mengatakan, sudah menjadi hak setiap terpidana untuk mengajukan PK yang tertulis dalam UU Hukum Acara Pidana. Menurut Jaja, selama tidak ada potensi pelanggaran etik, maka apapun putusan majelis hakim harus dihormati.
"Substansi putusan PK menambah hukuman atau ada pengurangan hukuman adalah independensi hakim," kata Jaja kepada Republika, Kamis (1/10).
Saat ditanyakan apakah KY akan mengevaluasi terkait independensi hakim saat memberikan putusan PK lantaran pengurangan hukuman narapidana korupsi yang terus terjadi di MA? Jaja menegaskan, selama tidak ada gangguan terhadap independensi hakim, maka harus dihormati segala putusan.
"Apabila ada gangguan atas independensinya, misalnya faktor integritas barulah bisa berpotensi adanya pelanggaran etik. Sekali lagi ditegaskan kalau sepanjang hakim itu independensi tidak terganggu setiap putusan hakim apapun isinya harus dihormati, " ujar Jaja.
Saat ini, setidaknya masih ada sekitar 38 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para narapidana kasus korupsi. KPK berharap agar, fenomena ini tidak dijadikan modus baru para napi koruptor dalam upaya mengurangi hukumannya.
Sepanjang 2019-2020 sebanyak MA mengabulkan permohonan PK atas 23 perkara tindak pidana korupsi. Saat ini pun setidaknya masih ada sekitar 38 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para narapidana kasus korupsi.
Terbaru yang dikabulkan MA adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Ia disunat hukumannya dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara.