REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan Kapolda Jawa Barat, Irjen Rudy Sufahriadi menyarankan buruh agar menahan diri untuk tidak berunjuk rasa. Walaupun, disisi lain para buruh tidak punya pilihan karena menilai aturan dalam Omnibus Law banyak yang mencederai kaum pekerja.
Ridwan Kamil atau Emil mengatakan, tuntutan mengenai kebijakan tidak selalu dilakukan dengan demonstrasi. Karena, ada banyak cara. Di antaranya dialog tanpa mengundang kerumunan.
“Mogok buruh dan sebagainya kita imbau untuk saling memahami dengan dialog, dan dengan cara cara baik, menyampaikan aspirasi tidak dengan kerumunan. Apapun dengan protokol kesehatan. Apapun yang terjadi di situasi saat ini, masyarakat diimbau menahan diri,” ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil di Gedung Sate, Senin (5/10).
Senada dengan Emil, menurut Kapolda Jawa Barat, Irjen Rudy Sufahriadi, Polda Jabar sudah menyiapkan pelayanan dan pengamanan terkait unjuk rasa. Namun, ia meminta semua pihak memahami risiko kegiatan berkerumun di masa pandemi Covid-19.
Namun, kata dia, yang harus diingat, di dalam kegiatan apapun selama pandemi Covid-19 ini, perhatikan protokol kesehatan. "Itu patokannya. Diimbau buruh kalaupun ada demo, protokol kesehatan. Tapi saya berharap tidak ada demo karena dalam masa pandemi Covid 19,” katanya.
Terpisah, Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI/Presedium Aliansi GEKANAS, Roy Jinto Ferianto, harus ada gerakan yang kuat untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
"Kami paham situasi pandemi. Tapi, kami tidak punya pilihan. Kalau pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak dilakukan di paripurna sampai tanggal 8 Oktober, pasti buruh juga tidak akan melakukan aksi. Susah buat kita, karena ini menyangkut masa depan kaum buruh,” papar Roy.
Rencana unjuk rasa di tingkat kota kabupaten hingga provinsi dilakukan pada Selasa (6/10). Ia memastikan, proses demonstrasi akan menerapkan protokol kesehatan dengan mengenakan masker dan jaga jarak.
Menurut Roy, kaum buruh kecewa dan marah kepada DPR RI yang mengebut pembahasan RUU pada hari libur hingga tengah malam. Seharusnya, pemerintah dan DPR RI fokus pada penanganan Covid-19. Terlebih, poin yang tertuang dalam klaster ketenagakerjaan sangat merugikan kaum buruh antara lain dengan dibebaskannya sistem kerja PKWT dan outsourcing tanpa ada batasan jenis pekerjaan dan waktu.
Buruh, kata dia, tidak ada kepastian pekerjaan. Selain itu, dihapusnya upah minimum sektoral, diberlakukannya upah per jam mengakibatkan tidak adanya kepastian pendapatan, PHK dipermudah, pesangon dikurangi, hak cuti dihapus dan lain-lain.
"Ini menandakan bahwa RUU Cipta Kerja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi buruh malah sebaliknya hanya untuk kepentingan kaum pemodal saja,” katanya.