REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Ketika mendengar kabar ada orang sakit, orang biasanya akan menunjukkan simpati. Entah kemana perginya rasa iba itu ketika yang jatuh sakit ialah Donald Trump.
Presiden Amerika Serikat yang sedang berjuang untuk memperpanjang jabatannya tersebut mengumumkan dirinya dan istri positif Covid-19. Bercanda satire, orang-orang di media sosial bilang, "Akhirnya ada sesuatu yang positif juga tentang Trump!"
Anak saya pun spontan tertawa ketika mendengar kabar Trump kena Covid-19. Saya langsung bertanya, "Kok ketawa? "
Jawabannya sudah bisa saya tebak sebetulnya. Saya juga ngakak waktu pertama kali dengar beritanya. "Nggak mau pakai masker sih, lagian badung amat!" Itu jawaban anak SMA kelas 1.
Sekilas-sekilas, anak saya nonton berita juga. Dia menyaksikan kelakuan Trump, mulai dari ogah pakai masker, pertama kali kelihatan pakai masker, hingga penampilan dan pernyataannya soal masker dalam debat capres pekan lalu.
Trump masih menunjukkan kebadungannya dengan "jalan-jalan sebentar" keluar rumah sakit untuk menyapa pendukungnya. Dari balik jendela mobil, ia terlihat melambaikan tangan dan sesekali bertepuk tangan.
Memang sih pakai masker, tapi itu bukan contoh yang baik untuk seorang pemimpin negara. Ya, pastinya kemunculan Trump itu ada kaitannya dengan citra yang harus dipertahankan di tengah masa kampanye, yakni bahwa dia baik-baik saja meski punya komorbid obesitas dan usia kepala tujuh.
Dokter-dokter di Amerika Serikat pun ramai mengecam Trump. Kelakuan Trump memang menggemaskan soal Covid-19. Tetapi, itu bukan alasan untuk mendoakan hal buruk. Twitter pun sampai mengingatkan penggunanya, ada ancaman pembekuan akun jika kedapatan mengunggah cicitan yang mengharapkan orang lain kena bala.
Di Indonesia, kasus-kasus yang tak kalah menggemaskan juga banyak. Saya malas untuk menyebutkan nama orang berikut ini, enggan membuatnya populer. Tetapi berita tentang warga Banyuwangi, Jawa Timur yang mengaku aktivis antimasker itu viral pekan lalu, Sabtu (3/10). Dia menjemput paksa jenazah pasien yang belakangan diketahui positif Covid-19 setelah masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas dan hasil rapid test-nya reaktif.
Orang itu membuat video yang isinya mengungkap bahwa dirinya adalah pengikut Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Di awal pandemi merambah Indonesia, Terawan sempat bilang, "Masker untuk yang sakit, yang sehat nggak usah." Pernyataan itu yang dipegang teguh oleh si aktivis sampai sekarang.
Dia juga berdalih bahwa dirinya berpegang pada panduan lawas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Aduh, ini orang kemana aja ya? Kok nggak menyimak perkembangan, katanya aktivis?
Covid-19 jelas-jelas merupakan penyakit baru. Selagi kita terlelap, ilmuwan di berbagai dunia terus bekerja menyibak misteri penyakit infeksi virus SARS-CoV-2 ini. WHO bahkan sudah lama mengeluarkan panduan soal pemakaian masker.
Terawan juga sudah sejak berbulan lalu pakai masker lho. Akan tetapi, alih-alih soal Covid-19, Terawan belakangan malah tampak lebih sibuk membuat keputusan yang diprotes sejawatnya. Soal daftar nama anggota Konsil Kedokteran Indonesia yang tak sesuai rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan asosiasi profesi dokter sempat memanas Agustus lalu.
Terkini, kebijakannya yang termuat dalam (PMK) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik menuai polemik. IDI menilai, peraturan yang mengutamakan sejawat Terawan sebagai dokter spesialis radiologi itu berpotensi memunculkan gesekan di antara para dokter. Kalaupun risiko itu bisa diabaikan, masyarakat berisiko mengalami keterlambatan pelayanan radiologi, mulai dari USG kehamilan hingga pembuluh darah jantung.
Soalnya, sekarang layanan itu cuma boleh diberikan oleh radiolog yang jumlahnya sangat terbatas, yakni 1.578. Tadinya, 25 ribu dokter spesialis dari 15 bidang medis dan dokter umum bisa memberikan pelayanan radiologi.
Btw, Terawan dengar nggak ya, ada tenaga kesehatan yang sampai dilumuri tinja saat menjemput pasien Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur? Tega bener ya...Sengaja melumuri orang pakai tinja sejatinya merupakan bentuk penghinaan besar terhadap harkat dan martabat manusia. Tinja tercatat dalam sejarah sebagai senjata primitif untuk perlawanan dan mempermalukan musuh.
Kejadian Selasa (29/9) lalu itu kini menjadi kasus hukum setelah dilaporkan ke polisi. Padahal, sebetulnya itu pilu sangat. Sang suami tengah berjuang sembuh dari Covid-19, sementara sang istri menghadapi ancaman pasal berlapis akibat perbuatannya.
Kalau lihat aspek kemanusiaan, tentu lebih baik memaafkan. Bisa jadi, ibu tersebut hanya paham sebatas itu soal Covid-19. Apalagi banyak miskonsepsi yang belum terluruskan mengenai pandemi yang telah menjangkiti sekitar 10 persen warga dunia. Angka itu disebut WHO pada awal pekan ini.
Lanjut ke kasus lain yang juga menggemaskan, mari kita tengok insiden provokasi pembukaan peti mati jenazah Covid-19 di Cirebon, Jawa Barat. Videonya ramai beredar sejak Ahad (4/10) malam.
Setelah peti terbuka, jenazah tampak masih mengenakan baju dan popok. Keluarga yang semula telah mendapat penjelasan dan memahami serta menyetujui pemulasaraan dilakukan dengan protokol Covid-19 pun goyah. Mereka membawa pulang jenazah dan memandikannya. Kini, semua yang menyentuh jenazah diminta isolasi mandiri sampai situasi kondusif untuk menjalani uji usap Covid-19.
Sementara itu, warga DKI Jakarta lain lagi polahnya. Ketika pembatasan sosial berskala besar membuat aktivitas hiburan menjadi terbatas, sebagian dari mereka melipir ke daerah penyangga, Bekasi (Jawa Barat) dan Tangerang, Banten.
Ya, kalau saja mereka sadar, virus corona itu bergerak bersama orang. Jangan cari penyakit deh!
Kalau diurutkan dalam kadar bikin gemas, pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (purn) Moeldoko pada awal Oktober ini saya kasih tempat di urutan pertama. Betapa tidak, di tengah kasus-kasus yang menyudutkan tenaga kesehatan, dia malah ibarat menabur garam di atas luka. Pedih euy!
Ungkap dong kalau memang ada kasus rumah sakit mengcovidkan pasien meninggal demi mendapatkan anggaran dari pemerintah. Selain itu, pemerintah juga masih punya pe-er memperkuat kapasitas pengujian dengan hasil pemeriksaan yang bisa segera diketahui pasien dan keluarganya, menjalankan penelusuran kontak erat, dan memperbaiki layanan perawatan Covid-19.
Jangan sampai kasus Covid-19 makin menggurita karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap tenaga kesehatan akibat pernyataan-pernyataan pejabat negara yang bikin blunder.
*penulis adalah wartawan Republika.co.id
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement