REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menuduh Amerika Serikat menargetkan saluran tersisa bagi Iran untuk membayar makanan dan obat-obatan tengah pandemi melalui sanksi baru yang diumumkan pada Kamis (8/10).
Amerika Serikat memberikan sanksi baru pada sektor keuangan Teheran dengan menargetkan 18 bank Iran. Sanksi itu dalam upaya untuk lebih menutup Iran dari sistem perbankan global.
"Di tengah pandemi Covid-19, rezim AS ingin menghilangkan beberapa saluran kami yang tersisa untuk membayar makanan dan obat-obatan," kata Zarif di Twitter.
"Tapi berkonspirasi untuk membuat penduduk kelaparan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan."
Gubernur Bank Sentral Iran Abdolnaser Hemmati menolak sanksi baru itu dan menilainya sebagai propaganda terkait dengan politik dalam negeri AS. Seperti diketahui sanksi dijatuhkan jelang pilpres AS saat Donald Trump butuh banyak dukungan pemilih.
"Daripada memiliki efek ekonomi, langkah Amerika itu untuk propaganda domestik dan tujuan politik AS, dan menunjukkan kepalsuan hak asasi manusia dan klaim kemanusiaan para pemimpin AS," kata Hemmati dalam sebuah pernyataan yang disampaikan di situs web bank sentral.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berada di balik sanksi baru AS itu sebagai upaya memikat (Presiden AS Donald Trump) untuk menggandakan penargetan yang tidak manusiawi terhadap rakyat sipil Iran.