REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengajukan relaksasi pajak pembelian mobil untuk meningkatkan permintaan. Insentif ini diharapkan dapat mengurangi harga jual mobil di pasaran, sehingga menarik minat masyarakat untuk membeli kendaraan.
Tapi, hasil survei Danareksa Research Institute (DRI) mencatat, penurunan harga tidak membuat banyak orang ‘tergerak’ untuk membeli mobil baru maupun bekas. Sebab, pada masa pandemi maupun beberapa tahun setelahnya nanti, mobil masih masuk dalam kebutuhan tersier atau kategori yang tidak menjadi prioritas.
Chief Economist PT Danareksa (Persero) Moekti Prasetiani Soejachmoen menyebutkan salah satu alasannya adalah mobilitas orang akan banyak berkurang. Sebagian besar di antara mereka merasa tidak membutuhkan mobil saat ini maupun dalam waktu dekat karena menghabiskan banyak waktu di rumah.
"Masih ada kebutuhan lain yang perlu dipenuhi sebelum masyarakat membeli mobil," ucapnya dalam Webinar Prospek Pemulihan Ekonomi Sektor Industri Otomotif Nasional, Rabu (14/10).
Survei DRI mencatat, sebanyak 73 persen responden tidak ingin membeli mobil baru maupun bekas pada masa pandemi Covid-19. Sementara itu, 20 persen responden lainnya mau membeli mobil baru dan tujuh persen cenderung memilih mobil bekas.
Penurunan harga membuat keputusan beberapa responden berubah, namun dalam jumlah sedikit. Moekti menyebutkan, 80 persen dari mereka yang semula mempunyai keinginan membeli mobil bekas, akan memilih untuk beralih ke mobil baru. Tapi, syaratnya, penurunan harga mobil tersebut harus mencapai 25 hingga 35 persen.
Di sisi lain, sebanyak 30 persen dari mereka yang semula tidak ingin membeli, mengubah keputusannya saat ada penurunan harga. "Syaratnya sama, harga turun 25-35 persen," tutur Moekti.
Persentase itu menggambarkan, penurunan harga tidak akan menyebabkan peningkatan permintaan mobil secara signifikan. Oleh karena itu, Moekti menekankan, dibutuhkan insentif lain dari pemerintah maupun industri selain menurunkan harga untuk bisa mendorong permintaan masyarakat terhadap mobil.
"Perlu ada kebijakan lain dari penurunan harga agar bisa drive permintaan mobil," ujarnya.
Saat ini, Kemenperin tengah mengajukan pembebasan sementara pajak pembelian mobil kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Permintaan ini untuk meningkatkan permintaan terhadap industri otomotif yang terus tertekan di tengah pandemi Covid-19.
Ruang lingkup jenis pajak yang diharapkan adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak daerah.
Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Taufiek Bawazier menjelaskan, pihaknya kini sudah mengirim surat pengajuan relaksasi pajak mobil baru ke dua kementerian terkait.
Tapi, Taufiek menyiratkan, dua instansi itu belum memberikan surat balasan kepada Kemenperin. "Mudah-mudahan bisa mendapatkan respon baik, sehingga kami (Kemenperin) sebagai pembina sektor (otomotif) bisa menggerakkan sektor lebih baik," ujarnya, dalam kesempatan yang sama.
Dalam surat yang ditampilkan Taufiek dalam Webinar, Kepada Kemenkeu, Kemenperin meminta adanya relaksasi PPnBM dan PPN sampai Desember. Sedangkan, kepada Kemendagri, Kemenperin mengajukan stimulus pembebasan sementara Pajak Bea Balik Nama (BBN), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Progresif sampai dengan Desember.
Secara paralel, Kemenperin mengusulkan pembebasan sementara Bea Masuk Completely Knocked Down (CKD) dan Incompletely Knocked Down (IKD). Di sisi lain, Kemenperin mengajukan kenaikan pajak kendaraan bermotor bekas secara proporsional.