Kamis 15 Oct 2020 13:18 WIB

Fahri: Omnibus Law tak Sesuai dengan Demokrasi Indonesia

DPR dan pemerintah tak mampu memahami madzab atau falsafah dibelakang UU Cipta Kerja.

Rep: Nawir Arsyad Akbar / Red: Agus Yulianto
Fahri Hamzah
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Fahri Hamzah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai Undang-Undang Cipta Kerja merampas hak-hak individu, hak berserikat, dan memberikan kewenangan luar biasa kepada lahirnya kapitalisme. Sehingga, ia menilai, konsep omnibus law tak sesuai dengan sistem demokrasi di Indonesia.

“Falsafahnya akan diganti dengan nilai-nilai kapitalisme baru yang merampas hak-hak individual dan berserikat atau berkumpul. Mereka juga diberikan kewenangan untuk memobilisasi dana, tanpa dikenai peradilan. Ini anomali yang berbahaya sekali,” ujar Fahri lewat keterangan tertulisnya, Kamis (15/10).

UU Cipta Kerja, kata Fahri, diadopsi pemerintah dan DPR dari sistem komunis China. Karena, hal ini lebih menjanjikan ketimbang kapitalisme konservatif model Amerika dan Eropa.

Hal inilah yang dinilainya tidak disadari pemerintah dan DPR. Di mana keduanya ternyata tidak mampu memahami madzab atau falsafah dibelakang omnibus law UU Cipta Kerja ini secara utuh.

Ketidakpahaman terhadap kapitalisme baru China ini juga disebutnya dialami seluruh partai politik. Karena sejak awal, seluruh partai politik terlibat secara aktif melakukan sosialisasi dan pembahasan.

"Jangan lupa dibalik keputusan ini, ada persetujuan lembaga DPR dan proposal dari pemerintah. Banyak hal yang diabaikan tiba-tiba disahkan, ini menjadi pertanyaan besar. Di sinilah, saatnya kita harus melakukan reformasi terhadap partai politik dan lembaga perwakilan," ujar Fahri.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini mempertanyakan untuk kepentingan siapa UU Cipta Kerja. Sebab, para investor dari Amerika dan Eropa justru ramai-ramai mengirimkan surat ke pemerintah Indonesia menolak regulasi sapu jagat tersebut.

Sejak awal, dia sudah mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk tidak membuat UU Cipta Kerja yang menggabungkan 79 UU menjadi 1.200 pasal. Karena akan memicu gelombang demonstrasi rakyat besar-besaran dan ujung-ujungnya akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dari awal saya sarankan ke Presiden, ngapain bapak membuat undang-undang baru. Duduklah satu meja dengan konstituen dan stakeholder, apa yang mau dipercepat, misalkan perizinan, kepastian dalam berusaha dan akuisisi lahan, pakai saja undang-undang yang ada. Di sinkronisasi saja, lalu buatlah peraturan pemerintahnya, PP-nya," ujar Fahri.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement