REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan negaranya telah menderita banyak korban dalam pertempuran dengan Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh. Dia memberi penghormatan besar kepada mereka yang telah tewas.
"Saya tunduk kepada semua korban kami, para martir, keluarga mereka, orang tua mereka dan terutama ibu mereka, dan saya menganggap kehilangan mereka adalah kehilangan saya, kehilangan pribadi saya, kehilangan keluarga saya," kata Pashinyan dalam sebuah pidato yang disiarkan televisi pada Rabu (14/10), dikutip laman BBC.
Dia meminta segenap rakyatnya mengerti bahwa Armenia sedang menghadapi situasi sulit. "Ini bukan pernyataan putus asa atau kehilangan harapan. Saya memberikan informasi ini karena saya berkomitmen untuk mengatakan yang sebenarnya kepada rakyat kita," katanya.
Pashinyan mengungkapkan, meski telah menderita cukup banyak korban dan kehilangan peralatan, pasukan Armena masih dalam kendali umum. Menurut dia, serangan yang dilancarkan para tentaranya juga menyebabkan banyaknya korban pada pihak musuh, yakni Azerbaijan. "Kita harus menang, kita harus hidup, kita harus membangun sejarah kita, dan kita membangun sejarah kita, epik baru kita, pertempuran heroik baru kita," ujarnya.
Sementara itu, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev menuding Armenia menargetkan jaringan pipa gas dan minyak negaranya. "Armenia mencoba menyerang dan mengambil kendali jaringan pipa kami. Jika Armenia mencoba untuk mengambil alih jaringan pipa di sana, saya dapat mengatakan bahwa hasilnya akan sangat buruk bagi mereka," kata Aliyev dalam wawancara dengan lembaga penyiaran Turki Haberturk pada Rabu.
Sejak 27 September lalu, Armenia dan Azerbaijan terlibat konflik di wilayah Nagorno-Karabakh yang dipersengketakan. Ratusan orang dilaporkan telah tewas selama pertempuran berlangsung.
Konflik antara Armenia dan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh sebenarnya telah berlangsung sejak awal 1990-an. Persengketaan wilayah mulai muncul setelah Uni Soviet runtuh. Pada masa Soviet, Nagorno-Karabakh merupakan wilayah otonom di dalam republik Azerbaijan. Secara internasional, saat ini Nagorno-Karabakh diakui sebagai bagian dari Azerbaijan, tapi mayoritas penduduknya adalah etnis Armenia.
Dari 1991-1994, pertempuran kedua negara diperkirakan menyebabkan 30 ribu orang tewas. Pada 1992, The Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) Minsk GrouP dibentuk. Badan yang diketuai bersama oleh Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat (AS) itu bertugas memediasi serta menemukan solusi damai untuk mengakhiri konflik Armenia-Azerbaijan di Nagorno-Karabkah.
Gencatan senjata berhasil disepakati pada 1994. Namun, hingga kini kedua negara belum bersedia terikat dalam perjanjian perdamaian.