Sabtu 17 Oct 2020 03:24 WIB

Pemerintah Kembangkan Tujuh Skema Hilirisasi Batu Bara

Pemerintah menyiapkan insentif fiskal dan non fiskal agar proyek hilirisasi ekonomis.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Truk membawa batubara di area pertambangan PT Adaro Indonesia di Tabalong, Kalimantan Selatan. ilustrasi
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Truk membawa batubara di area pertambangan PT Adaro Indonesia di Tabalong, Kalimantan Selatan. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan global yang mengedepankan kebutuhan energi berbasis prinsip keberlanjutan dan ramah lingkungan mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengembangkan skema hilirisasi industri batu bara. Hal ini sebagai jawaban sekaligus peluang bagi sektor tersebut dalam menjaga kebermanfaatan bagi perekonomian nasional.

"Kita harus mengkonversi bisnis batu bara sesuai dengan perkembangan global dan dalam negeri, misalkan menerapkan Clean Coal Technology (CCT)," kata Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Sujatmiko, Jumat (16/10).

Baca Juga

Lebih lanjut, Sujatmiko mengungkapkan ada tujuh skema hilirisasi batu bara yang tengah dikembangkan oleh pemerintah, yakni gasifikasi batu bara, pembuatan kokas (cokes making), underground coal gasification, pencairan batu bara, peningkatan mutu batu bara, pembuatan briket, dan coal slurry/coal water mixture. "Tujuh hilirisasi ini masa depan batubara kita agar menjadi tulang punggung (backbone) energi baik di Indonesia maupun dunia," tegas Sujatmiko.

Dalam paparan Sujatmiko, Kementerian ESDM menargetkan penambahan 3 fasilitas peningkatan mutu batu bara (coal upgrading) pada tahun 2024, 2026, dan 2028 dengan kapasitas masing-masing mencapai 1,5 juta ton/tahun.

Sementara proses gasifikasi akan dilakukan oleh PT Bukit Asam sebagai upaya subtitusi Liquified Petroleum Gas (LPG) melalui Dimethyl Ether (DME) yang beroperasi pada tahun 2024. Hal serupa dilakukan oleh PT KPC dengan kapasitas kurang lebih 4 juta ton.

Untuk penambahan pabrik briket direncanakan rampung pada tahun 2026 dan 2028 berkapasitas 20 ribu ton per tahun, sedangkan rencana dua fasilitas cokes making akan selesai di tahun yang sama dengan kapasitas kurang lebih satu juta ton.

Demi mempercepat proses hilirisasi, sambung Sujatmiko, pemerintah telah menyiapkan insentif fiskal dan non fiskal agar proyek hilirisasi lebih ekonomis. Insentif non fiskal yang diberikan antara lain berupa izin usaha selama umur cadangan tambang. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi 20 tahun.

Sementara insentif fiskal berupa pembebasan royalti bagi batu bara yang dijadikan bahan baku hilirisasi. Royalti nol persen itu diyakini tidak akan mengurangi penerimaan negara.

Hilirisasi dinilai mampu menciptakan efek berganda yakni membuka lapangan kerja serta menggerakkan roda perekonomian daerah. Dengan efek berganda itu, maka penerimaan negara yang hilang dari royalti nol persen akan tersubstitusi.

"Kalau industri jalan maka secara agregat pajak memberi keuntungan bagi negara. Bagi daerah juga berdampak untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang," ujar Sujatmiko.

Sujatmiko memastikan potensi sumber daya batu bara di Indonesia cukup besar dengan total 149 miliar ton dengan total cadangan hingga 38 miliar ton. "Aset ini harus jadi return, bagaimana batu bara terus memberikan manfaat bagi bangsa dan negara," harapnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement