Rabu 21 Oct 2020 16:16 WIB

Hehamahua: Mobil Dinas Bisa Jadi Bentuk Suap dari Pemerintah

Penyuapan seperti ini pernah dialami Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
 Abdullah Hehamahua.
Foto: Antara/Fanny Octavianus
Abdullah Hehamahua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua angkat bicara terkait rencana pengadaan mobil dinas bagi para pejabat KPK. Kata dia, tidak menutup kemungkinan bahwa pengadaan mobil dinas itu adalah salah satu bentuk suap pemerintah bagi lembaga antirasuah tersebut.

"Jika pengadaan mobil mewah tersebut dianggarkan oleh pemerintah, bukan oleh KPK, maka mobil itu adalah salah satu bentuk penyuapan pemerintah terhadap komisioner KPK," kata Abdullah Hehamahua di Jakarta, Rabu (21/10).

Dia mengungkapkan, penyuapan seperti ini pernah dialami oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dia mengatakan. pada 2002 lalu Presiden Megawati menyerahkan uang tunai Rp 75 juta untuk membeli mobil pribadi komisioner KPKPN.

Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua KPKPN menolak uang tersebut karena menganggap sebagai salah satu bentuk penyuapan. Dia lantas menyarankan agar pemerintah menyediakan mobil operasional atau mobil dinas, sehingga saat selesai masa tugas mobil itu dikembalikan ke negara

Terkait mobil dinas, dia menyindir, dua hal jika kendaraan apalagi yang mewah itu diminta oleh komisioner KPK. Dia mengatakan, pertama pemerintah tidak memahami filosofi pembentukan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Kedua, komisioner KPK tidak memiliki kepedulian terhadap penderitaan rakyat dan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia," katanya.

Dia kemudian menceritakan pertemuan Ketua KPK (TR) dengan Kepala BPK (Nasution). Saat itu TR diledek terkait masalah gaji. TR lantas meminta bertukar posisi dengan Kelapa BPK. Namun Kepala BPK itu menolak karena tidak adanya fasilitas yang diberikan negara dan honor ketika menjadi narasumber di berbagai acara.

"Di KPK, semuanya, mulai dari pimpinan sampai pegawai rendahan KPK tidak boleh terima honor karena dikategorikan sebagai gratifikasi," katanya.

Hehamahua menjelaskan, sejak dulu penetapan gaji di KPK berdasarkan sistem merit dengan formula 3P yakni pay for person; pay for position, dan pay for performance. Artinya, gaji seorang insan KPK dari Penasihat sampai karyawan biasa ditentukan oleh kapasitas pribadi, posisi/jabatan di KPK serta kinerjanya.

Seperti diketahui, KPK berencana mengadakan mobil dinas bagi para pejabat mereka. Berdasarkan informasi yang dihimpun, mobil dinas bagi Ketua KPK dianggarkan Rp 1,45 miliar. Sementara untuk empat Wakil Ketua KPK masing-masing dianggarkan Rp 1 miliar.

Sedangkan anggaran mobil dinas bagi lima anggota Dewas KPK masing-masing Rp 702,9 juta. Sementara, nilai mobil dinas serupa dengan Dewas juga dianggarkan bagi masing-masing anggota eselon I yang berjumlah enam orang.

KPK mengonfirmasi tunjangan transportasi pejabat akan dihilangkan jika kendaraan dinas nantinya dimungkinkan pada 2021 untuk diberikan kepada pimpinan dan Dewas. KPK mengatakan, tunjangan transportasi diberikan karena saat ini pimpinan tidak memiliki kendaraan dinas.

Mengacu pada PP Nomor 82 Tahun 2015 dan Perpres Nomor 6 Tahun 2020, tunjangan transportasi ketua KPK dan ketua dewas KPK sekitar Rp 29,5 juta. Sedangkan wakil ketua dan anggota dewas KPK memperoleh tunjangan transportasi sekitar Rp 27,3 juta.

Karena menuai polemik, KPK mengaku akan meninjau ulang pengadaan mobil dinas jabatan tersebut. Mereka saat ini mengaku saat ini tidak akan membahas pengadaan kendaraan dinas bagi para pimpinan.

"Soal mobil dinas sudah clear KPK tinjau ulang, nggak dibahas lagi," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement