REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia, Muhammad Nuruddin, mengatakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja bakal mengancam keberlangsungan pertanian berkelanjutan yang saat ini tengah diupayakan. Konversi lahan sawah ke nonpertanian bakal lebih masif karena aturan yang dinilai lebih longgar.
"Adanya Undang-Undang Pertanian Pangan Berkelanjutan saja konversi lahan sudah masif, 100 ribu hektare per tahun. Apalagi dengan diciptakannya undang-undang ini," kata Nuruddin dalam diskusi publik virtual, Jumat (23/10).
Ia mengatakan, dari hasil kajian yang dilakukan, konversi lahan yang semula diatur ketat menjadi lebih longgar. Sebab, lahan-lahan pertanian bisa dikonversi menjadi nonpertanian dengan alasan untuk kepentingan umum.
Pihaknya pun menantikan aturan turunan yang mengatur konversi lahan karena akan menentukan keberlangsungan sawah ke depan. "Tanah itu seolah hanya dilihat sebagai fungsi ekonomi, tidak sebagai fungsi sosial. Tidak memikirkan ekologi, hanya ekonomi," ujarnya.
Nuruddin secara khusus juga mengkritik aturan bank tanah yang ada dalam Omnibus Law. Ia meyakini, hal itu akan semakin menggeliatkan komersialisasi tanah-tanah masyarakat yang mengancam hak agraria.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan, dari sisi proses pembuatan Omnibus Law sudah cacat sejak awal baik saat masih ditangani pemerintah maupun proses di legislatif. Dari catatan KPA, terdapat 22 undang-undang terkait agraria yang diubah demi kepentingan investasi skala besar.
"Orientasi ekonomi dan politik begitu kapitalis dan liberal," kata Dewi.
Dewi menambahkan, lahan-lahan pertanian dipastikan akan bebas dikomersialisasikan dan ditransaksikan oleh siapapun pemilik modal. Pada akhirnya, petani-petani dan rakyat kecil di perdesaan akan kalah dalam berkompetisi.
"Industrialisasi perdesaan tanpa reforma agraria menjadi ciri dari Omnibus Law," katanya.