REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Hukum pernikahan beda agama, atau biasa juga dikenal dengan pernikahan lintas agama selalu menjadi polemik yang cukup kontroversial dalam masyarakat, khususnya negara yang memiliki berbagai macam penduduk dengan agama yang berbeda-beda.
Ada kalanya laki-laki Muslim mencintai perempuan yang berbeda agama dengannya, dan sebaliknya kadang Muslimah malah jatuh cinta dengan laki-laki non Muslim.
Ahli Tafsir Fikih, Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA mengatakan dalam hal ini setidaknya ada dua permasalahan besar terkait dengan nikah beda agama. Pertama terkait hukum laki-laki Muslim menikahi perempuan musyrik, dan yang kedua terkait dengan perempuan muslimah menikah dengan laki-laki musyrik.
Di Indonesia perkara ini agak jarang terjadi, namun perlu juga kiranya kita mencari tahu bagaimana detail pendapat ulama dalam masalah ini. Mayoritas ulama menyepakati, termasuk didalam ulama empat mazhab, bahwa haram menikahi perempuan bukan muslimah selain ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).
Keharaman menikahi perempuan bukan Muslimah selain ahli kitab itu berdasarkan QS Al-Baqarah: 221, sedangkan kebolehan menikahi perempuan ahli kitab itu didasarkan kepada QS Al-Maidah ayat ke-5.
"Dalam bahasa lainnya bahwa menurut mayoritas ulama boleh menikahi perempuan ahli kitab, walaupun status kebolehannya juga berkisar antara mubah dan makruh," ujar Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA yang dikutip di Rumah Fiqih Indonesia, Senin (23/11).
Namun yang juga perlu digarisbawahi bahwa kebolehan menikahi mereka mensyaratkan bahwa perempuan ahli kitab itu adalah sosok yang suci dari perzinahan, masuk dalam kategori muhshanat, dan statusnya bukan penduduk harbiy, walaupun syarat yang ketiga masih diperselisihkan antara ulama.
Diriwayatkan Ibnu Abbas RA juga dikuatkan dengan pendapat Malik bin Anas dan Sufyan As-Tsauri dan Abdurrahman Al-Auza’i bahwa keharaman menikahi non-Muslimah pada QS Al-Baqarah: 221 itu dihapus pemberlakuannya (di-nasakh) QS Al-Maidah: 5 yang membolehkan menikahi ahli kitab.
Pendapat yang hampir sama juga dinyatakan Qatadah dan Sa’id bin Jubair yang menilai bahwa QS Al-Baqarah: 221 sifatnya umum (‘am) yang maksudnya dan tujuannya dikhususkan (takhsish) maknanya oleh QS Al-Maidah: 5. Dalam istilah Ushul Fiqih pendalilan seperti ini dikenal dengan istilah ‘am urida bihi al-khusush [العام أريد به الخصوص]
Dan menurut penjelasan At-Thabari pendapat Qatadah ini adalah pendapat yang paling kuat, bahwa QS Al-Baqarah: 221 ini adalah ayat yang tampaknya ‘am (umum) tapi sebenarnya ia adalah ayat khas (khusus), dan tidak ada yang dihapus, serta ahli kitab tidak masuk dalam larangan yang dimaksud [أن الآية عام على ظاهرها خاص باطنها ، لم ينسخ منها شيء وأن نساء أهل الكتاب غير داخلات فيها]
Kebolehan menikahi ahli kitab juga dikuatkan dengan kenyataan ternyata sahabat Rasulullah SAW yang bernama Khudzaifah bin Al-Yaman dan Tholhah bin Ubaidillah juga menikahi perempuan ahli kitab, lebih tepatnya dalam riwayat lainnya salah seperti yang ditulis Ibnu Katsir bahwa Hudzaifah menikah dengan perempuan Nashrani dan Tholhah menikahi perempuan Yahudi.
Melihat kenyataan ini lalu Umar bin Khattab memerintahkan agar sahabat Hudzaifah dan Tholhah ini menceraikan istrinya yang Nashrani dan Yahudi itu. Memang Umar bin Khattab termasuk sahabat yang paling gencar mengkampanyekan agar tidak menikahi perempuan ahli kitab.
Kampanye ini bukan berarti sosok Umar mengharamkannya, namun hal ini dilakukan hanya semata untuk kehati-hatian agar laki-laki muslim tidak gampang memutuskan untuk menikahi mereka, terlebih bahwa keberadaan muslimah masih sangat memadai jumlahnya untuk dinikahi.
Lanjutan dari QS Al-Baqarah: 221 adalah perihal larangan menikahkan perempuan Muslimah dengan non-Muslim atau kafir. Non-Muslim yang dimasud adalah seluruh laki-laki yang bukan Muslim, apapun nama agamanya, ini yang membedakan antara pebahasan pertama dengan yang kedua.
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ “Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (QS Al-Mumtahanah: 10)
Sosok besar Syekh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir menilai bahwa potongan ayat terakhir ini tidak ada yang mengkhususkannya, dan Al-Qurthubi meyakinkan bahwa pelarangan ini sudah ada kata sepakat (ijma) dari para ulama.
Kalimat “وَلَا تُنْكِحُوا” dengan harakat dhommah (di depan) pada huruf ta’ jika diterjemahkan, “Janganlah kalian menikahkan”, maksudnya adalah menikahkan perempuan Muslimah dengan non-Muslim.
Dari ayat inilah para ulama menilai bahwa perempuan, khususnya yang berstatus perawan, tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, namun harus dinikahkan walinya.
"Keharaman menikahkan Muslimah dengan non-Muslim itu setidaknya didasari dengan landasan bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang boleh lebih tinggi darinya, sedang kita tahu bahwa pada level keluarga posisi tertinggi dipegang oleh suami yang nanti akan menjadi ayah dari anak-anak," jelas Ustadz Muhammad Saiyid Mahadhir.
"Sehingga sangat dikhawatirkan akan hadirnya banyak mudharat dalam keluarga tersebut, kebahagiaan yang diraih dari model pernikahan ini adalah kebahagiaan yang semu, bagaimana mau bahagia jika agama tidak meridhai, belum lagi jika keluarga besar juga tidak merestui, kebahagiaan macam apa yang akan diraih dengan ketidakridhaan dari agama dan keluarga?" sambungnya.