REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Muhammad Nursyamsi, Antara
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengonfirmasi operasi penangkapan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Bandara Soekarno Hatta pada Rabu (25/11) dini hari. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkapkan tangkap tangan terhadap Edhy berkaitan dengan ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Benar KPK tangkap, berkait ekspor benur, tadi pagi jam 01.23 di Soeta. Ada beberapa dari KKP dan keluarga yang bersangkutan (Edhi Prabowo)," kata Ghufron, Rabu (25/11).
Menurut sumber Republika, Edhy ditangkap bersama sang istri saat tiba di Bandara Soekarno Hatta dengan maskapai penerbangan dari Jepang. Diketahui, Edhy baru saja pulang dari kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat
"Begitu tiba di Bandara Soekarno Hatta dengan pesawat dari Jepang, Edhy beserta istri dan beberapa rombongan yang ikut ke Amerika langsung ditangkap KPK dan dibawa ke gedung KPK," ungkap sumber tersebut kepada Republika, Rabu (25/11).
Penangkapan Edhy ini menjadi ironis lantaran pada Desember 2019, Edhy Prabowo pernah menyatakan tindak pidana korupsi adalah musuh utama KKP. Ia berharap semangat pemberantasan korupsi jangan hanya secara fisik, tetapi meresap ke hati.
"KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) sebagai salah satu stakeholder kelautan dan perikanan, bicara korupsi maka itu adalah musuh utama kita," kata Menteri Edhy dalam acara Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2019 yang digelar di Kantor KKP, Jakarta, Senin (9/12).
Menurut dia, peringatan pemberantasan korupsi seharusnya bukan hanya sekadar simbol, tetapi benar-benar diresapi dan diterapkan saat menjalankan tugas yang diamanahkan. Untuk itu, ia menegaskan agar peringatan hari antikorupsi dapat menjadi momentum untuk mengevaluasi setahun yang lalu, serta meneguhkan semangat menjalankan antikorupsi dan melayani negara ke depannya.
Menteri Edhy juga mengingatkan bahwa korupsi tidak hanya terkait memanipulasi uang. Tetapi tingkah laku pegawai KKP juga bisa terjebak kepada korupsi, misalnya bila tidak mau melayani aduan masyarakat.
"Tugas kita sebagai aparatur negara untuk melayani mereka (warga yang mengadu)," katanya dan menambahkan, seharusnya setiap tamu yang mengadu apapun dan kapanpun, seharusnya diterima dengan baik dan tangan terbuka, baik di kementerian pusat maupun UPT atau balai-balai di daerah.
Berdasarkan keterangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kamis (19/11) pekan lalu, Edhy bertolak ke AS untuk memperkuat kerja sama bidang kelautan dan perikanan dengan salah satu lembaga riset di negara adidaya tersebut. Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri KKP, Agung Tri Prasetyo mengatakan kerja sama ini dalam rangka mengoptimalkan budidaya udang secara berkelanjutan di Indonesia.
Edhy mengunjungi Oceanic Institute (OI) di Honolulu, Negara Bagian Hawaii. OI merupakan organisasi penelitian dan pengembangan nirlaba yang fokus pada produksi induk udang unggul, budidaya laut, bioteknologi, dan pengelolaan sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Lembaga ini afiliasi dari Hawai'i Pacific University (HPU) sejak 2003.
"Selasa malam Pak Menteri bersama pendamping bertolak dan transit dulu di Korea Selatan. Alhamdulillah telah tiba di Los Angeles untuk transit menjalani tes PCR/swab sebagai syarat wajib masuk Hawaii," ujar Agung di Jakarta, Kamis (19/11).
In Picture: Jabat Menteri KKP, Edhy Prabowo Gantikan Susi Pudjiastuti
Ganti aturan Susi
Edhy Prabowo adalah politikus Gerindra yang ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggantikan Susi Pudjiastuti pada 2019. Tak lama setelah menjabat, Edhy mengatur ulang sejumlah kebijakan di KKP.
Diketahui, kebijakan-kebijakan yang diambil Edhy menuai pro dan kontra karena berupa pencabutan aturan yang oleh Susi sebelumnya bertujuan untuk menjaga keberlangsungan sumber daya kelautan, seperti larangan penggunaan cantran oleh nelayan dan larangan ekspor benih lobster.
Edhy pernah menyebut, keputusan yang diambil bukan lantaran tidak suka dengan aturan yang dibuat Menteri KKP Susi Pudjiastuti. "Semangat kami ingin memanfaatkan sebesar dan semaksimal-maksimalnya potensi (kelautan dan perikanan) yang ada untuk kesejahteraan rakyat," ujar Edhy di Jakarta, Ahad (5/7).
Edhy mencabut larangan ekspor benih lobster melalui Permen KP Nomor 12 tahun 2020 yang terbit pada Mei. Menurut dia, lahirnya permen tersebut untuk mendorong budidaya lobster nasional yang selama ini terhambat karena larangan mengambil benih lobster.
"Prioritas pertama itu budidaya, kita ajak siapa saja, mau koperasi, korporasi, perorangan silakan, yang penting ada aturannya. Pertama harus punya kemampuan berbudidaya. Jangan tergiur hanya karena ekspor mudah untungnya banyak. Enggak bisa," ujar Edhy.
Lewat Permen KP Nomor 12 juga, Edhy ingin mendorong kesejahteraan dan meningkatkan pengetahuan nelayan dalam berbudidaya lobster. Menurut Edhy, eksportir harus membeli benih lobster dari nelayan dengan harga di atas Rp 5.000 per ekor. Harga itu lebih tinggi dibanding ketika masih berlakunya aturan larangan pengambilan benih lobster.
KKP juga mewajibkan eksportir menggandeng nelayan dalam menjalankan usaha budidaya lobster. Edhy ingin nelayan tidak hanya mendapat keuntungan ekonomis dari menjual benih lobster, tapi juga mendapat pengetahuan tentang berbudidaya. Selain kemampuan berbudidaya, berkomitmen ramah lingkungan tidak merusak, dan yang paling penting berkomitmen dengan nelayannya sendiri.
"Dia harus satu garis dan dia harus membina nelayannya sendiri. Jadi nggak bisa nanti nelayan perusahaan ini pindah ke perusahaan itu, yang akhirnya tarik-tarikan. Si nelayan harus mendapat perlakuan baik dan diajak ikut berbudidaya juga," lanjut Edhy.
Mengenai cantrang, lanjut Edhy, akan diatur berdasarkan zonasi penangkapan. Dengan begitu tidak ada lagi singgungan antara nelayan besar dan kecil. Selain itu, panjang tali cantrang hingga ukuran jaring juga diatur untuk menghindari eksploitasi sumber daya laut.
Untuk memastikan keputusan yang diambil tidak salah, Edhy mengaku sudah menemui para ahli kelautan, pelaku usaha, hingga nelayan cantrang. Edhy juga menampik penggunaan cantrang merusak ekosistem karang.
Edhy mengaku tak ingin hanya melindungi pelaku usaha besar dan meninggalkan yang kecil atau pun sebaliknya. Menurut Edhy, keberpihakan terhadap pelaku usaha kecil dan besar harus jalan beriringan.
"Ekonomi itu hanya bisa berjalan kalau yang besar dan kecil bareng-bareng. Makanya kita bikin zonasi, kita atur. Jadi mereka sama-sama hidup dan enggak ada yang tiba-tiba eksploitasi habis-habisan, semua ditentukan," tambah Edhy.
Edhy menambahkan pertimbangan lain mencabut larangan penggunaan cantrang karena berpotensi menyerap banyak tenaga kerja anak buah kapal (ABK). Kapal-kapal cantrang yang tadinya menganggur akan kembali melaut yang tentunya membutuhkan banyak tenaga kerja. Sejalan dengan itu, KKP juga sudah mempermudah perizinan kapal melalui aplikasi SILAT yang bisa diakses 24 jam.
Edhy menyebut potensi perikanan Indonesia sangat besar sehingga sayang bila tidak dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Dari pada awak-awak kita kerja jadi ABK di luar negeri, lebih baik mereka kerja di negeri sendiri. Kita awasi dan atur penggajiannya sehingga mereka diperlakukan secara baik," kata Edhy menambahkan.