Rabu 25 Nov 2020 12:29 WIB

Pengamat: Rekonsiliasi Jangan Sekadar Bagi Jabatan ke HRS

Semua pihak yang terlibat konflik harus saling membuka diri untuk bisa berangkulan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Direktur Eksekutif Indknesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo (tengah)
Foto: Republika/Imas Damayanti
Direktur Eksekutif Indknesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo meragukan urgensi wacana rekonsiliasi pemerintah seiring kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke tanah air. Karyono meminta, rekonsiliasi dengan kubu HRS tak hanya diartikan bagi-bagi kekuasaan.

Karyono sepakat bahwa rekonsiliasi nasional merupakan kebutuhan bangsa agar tidak terjebak ke dalam kubangan konflik berkepanjangan. Tetapi, menurutnya, wacana rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah belakangan ini.

Karyono mencontohkan, rekonsiliasi salah kaprah pernah didengungkan saat Pilpres 2019 berujung rusuh. Kondisi itu,  membuat pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin merangkul Prabowo Subianto yang menjadi lawan politiknya selama dua kali Pilpres berturut-turut. Upaya merangkul lawan politik itu menggunakan terminologi rekonsiliasi dengan dalih "the winner doesn't take it all", pemenang tidak mengambil semuanya. 

"Ujungnya, Partai Gerindra masuk ke dalam koalisi pemerintahan dan mendapat jatah dua menteri. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sekedar koalisi," kata Karyono pada Republika, Selasa (24/11).

Atas dasar itu, Karyono merasa istilah rekonsiliasi nasional sangat tidak tepat jika sebatas merangkul kubu HRS. Menurutnya, tindakan semacam itu lebih tepat disebut kompromi politik atau politik akomodatif. 

Dia menyarankan, jika pemerintahan Jokowi - Ma'ruf bersedia melakukan kompromi atau politik akomodatif dengan kubu HRS, maka cukup menunjuk Menkopolhukam Mahfud MD atau siapapun yang dipandang bisa berperan sebagai utusan. 

"Pasalnya, jika hanya untuk merangkul HRS atau kubu oposisi namanya bukan rekonsiliasi nasional," ujar Karyono. 

Karyono menekankan, rekonsiliasi harus dipandang sebagai kebutuhan kolektif bangsa. Semua pihak yang terlibat konflik harus saling membuka diri untuk bisa berangkulan dengan lawannya.

"Para elite, khususnya yang menjadi pengelola kekuasaan negara dan pemerintahan memiliki tanggung jawab moral untuk menyatukan kembali kelompok masyarakat yang mengalami keterbelahan dan pemisahan secara sosial," ucap Karyono.

Diketahui, kepulangan HRS ke tanah air telah memicu rentetan peristiwa bernuansa politik. Diantaranya pencopotan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar, pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jabar Ridwan Kamil oleh kepolisian. Disusul kemudian pencopotan baliho HRS di Ibu Kota oleh Satpol PP bersama TNI. 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement