Oleh : Indira Rezkisari*
REPUBLIKA.CO.ID, Desember 2020. Setahun sudah saya mulai menulis tentang wabah Covid-19 yang pertama terjadi di Wuhan, China. Dulu sebelum disebut sebagai virus corona, editan-editan awal berita dari Wuhan selalu disebut sebagai pneumonia China atau pneumonia Wuhan.
Di Wuhan, hidup sekarang sudah kembali normal. Bukan cuma Wuhan, hidup di seluruh China agaknya bisa dibilang telah kembali 100 persen seperti dulu. Kalau melihat unggahan Instagram kawan yang tinggal di China, mereka bahkan sudah tak ketat bermasker saat keluar rumah.
Jangan salah, warga China bukan tak patuh protokol. Setahu saya hampir semua orang di China sudah menjalani tes Covid-19 dan rutin dimonitor pergerakannya.
Di Tanah Air orang yang tidak bermasker juga pemandangan biasa, sih. Jelas bukan karena laju penyebaran Covid-19 yang sudah terkontrol. Mengapa banyak orang tak patuh protokol kesehatan, itu juga masih menjadi misteri bagi saya.
Beberapa hari belakangan saya banyak mengedit berita-berita tentang angka Covid-19 yang melonjak. Bahwa kasus kesembuhan Covid-19 di Indonesia menurun dan kasus aktif naik angkanya.
Ketika berita-berita tersebut menjadi unggahan di media sosial, pasti ada komentar warganet yang membuat saya termenung. Media disebut selalu menakut-nakuti publik. Warganet lain mengatakan, jelas saja kasusnya naik karena memang tesnya naik.
Ada lagi yang bilang, jangan apa-apa dicovidkan. Tetangga masuk rumah sakit disebut Covid-19. Paman sakit jantung disebut Covid-19. Entah apalagi disebut Covid-19 semua.
Mungkin media memang salah bila sampai masyarakat ada yang menilai kalau informasi mengenai penambahan kasus positif yang tinggi adalah upaya menakut-nakuti. Mungkin harusnya media bekerja seputar mencari informasi berita baik saja dari Covid-19.
Kabar baik tentang Covid-19 memang ada. Mulai dari terobosan pengembangan vaksin, hingga sedikit kepastian tentang kapan vaksin Covid-19 akan mulai disuntikkan. Atau kabar baik tentang daerah-daerah yang berhasil menurunkan laju penyebaran Covid-19.
Presiden Jokowi hingga Satgas Penanganan Covid-19 juga BNPB pun berulang kali menjejali publik dengan kabar baik. Terutama tentang angka kesembuhan Covid-19 yang beberapa waktu lalu sempat membaik.
Saya tidak mau bilang glorifikasi informasi angka kesembuhan Covid-19 itu bukan hal baik. Karena publik butuh kabar baik. Karena kabar baik itu juga selalu disampaikan dengan wanti-wanti agar publik tetap menjaga kewaspadaannya dan mempraktikkan 3M juga tidak menolak upaya 3T terhadapnya.
Tapi, ketika fakta apa adanya tentang Covid-19 dianggap sebagai upaya menakut-nakuti, saya khawatir ketakutan tersebut mengalahkan logika dan akal sehat. Bahwa faktanya, Covid-19 masih ada dan sangat mungkin makin ganas penyebarannya di Tanah Air.
Kenapa harus takut? Kalau saya, sederhana. Supaya saya selalu waspada akan penyakit menular yang belum ada obatnya ini.
Kenapa harus takut? Karena kenyataannya ketika ada kasus positif Covid-19, stigma mengalahkan upaya penelusuran kasus. Di Indonesia ketika ada kasus positif Covid-19, upaya pelacakan terbatas hanya sampai ke lima orang saja. Padahal dalam satu hari, seseorang yang berkegiatan di luar rumah sangat mungkin bertemu dengan lebih dari lima orang.
Tapi orang yang berhasil dilacak kontaknya dengan kasus positif, hanya segelintir yang mau menjalani tes swab Covid-19. Mengapa? Karena takut. Ketakutan kalau positif, takut kalau harus isolasi dan sebagainya.
Seperti saat digelarnya tes massal Covid-19 di Petamburan pascakerumunan massa pernikahan putri Habib Rizieq Shihab. Banyak warga yang menolak tes rapid, padahal sudah diiming-imingi pembagian sembako. Seorang warga yang ditanya mengapa tidak mau dites, alasannya takut dicolok hidungnya.
Ketakutan kesakitan karena tes swab, mengalahkan ketakutannya bila memang terdeteksi positif Covid-19 dan menularkannya ke anggota keluarga serumah yang rentan.
Upaya mengkomunikasikan bahaya Covid-19 memang tidak mudah. Bukan cuma di Tanah Air, di Amerika saja masih banyak anggota masyarakat yang bandel. Menganggap Covid-19 tidak ada. Sampai memilih tidak mau dibelenggu oleh penggunaan masker.
Masalahnya mau sampai kapan orang meremehkan Covid-19?
Mungkin lebih baik kita ketakutan, takut yang logis ya, supaya kewaspadaan itu selalu dijaga. Supaya ketika harus bekerja keluar rumah, atau sekadar ke warung di belakang kompleks, protokol kesehatan tetap dipraktikkan.
Peringatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membuat saya yakin kalau Covid-19 tidak bisa selesai kalau hanya ada satu orang yang takut. Saya mengibaratkan penyakit ini seperti hubungan manusia dengan Tuhan. Kalau Tuhan itu ada dan selalu mengawasi umatnya. Seperti virus corona yang memang tidak terlihat tapi harus diyakini ia ada di sekitar saya.
Bahasa Inggrisnya, call me paranoid. Tapi ya biarkan, daripada kewaspadaan itu lengah dan gelombang Covid-19 ini tidak kunjung menurun kasusnya. Sebanyak 180 dokter sudah kehilangan nyawanya di Indonesia akibat Covid-19. Lebih dari 16 ribu orang telah meninggal akibat Covid-19. Jutaan orang terkena PHK dan lebih banyak orang lagi yang terdampak secara ekonomi akibat penyakit ini.
Kalau media disebut menakut-nakuti, ya memang menakutkan. Bukan supaya Anda lalu mendekam di rumah dan tidak melakukan apa-apa karena takut. Tapi supaya kita semua sama-sama waspada dan paham konsekuensi saat melakukan aktivitas apapun.
*Penulis adalah jurnalis Republika.co.id