Senin 07 Dec 2020 07:15 WIB

Inayah Wahid: Keberagaman adalah Kekuatan Demokrasi

Demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, tetapi bersalingan atau saling berjalan.

Red: Ratna Puspita
Ilustrasi keberagaman. Putri Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Inayah Wahid, mengingatkan keberagaman harus dijaga karena keberagaman menjadi kekuatan demokrasi, sebagaimana keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Ilustrasi keberagaman. Putri Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Inayah Wahid, mengingatkan keberagaman harus dijaga karena keberagaman menjadi kekuatan demokrasi, sebagaimana keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putri Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Inayah Wahid, mengingatkan keberagaman harus dijaga. Sebab, keberagaman menjadi kekuatan demokrasi, sebagaimana keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia.

"Bagaimana kita menjaga demokrasi? Ya membiarkannya beragam, karena keberagaman adalah kekuatan demokrasi," kata Inayah, dalam webinar "Ulama-Ulama Nasionalis Pendiri Bangsa", Ahad (7/12).

Baca Juga

Menurut dia, bangsa Indonesia hidup menikmati iklim demokrasi seperti sekarang ini bukanlah terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang dan perjuangan para pendahulu, termasuk ulama-ulama dan pahlawan yang berjuang mempertahankan NKRI. Sebagai generasi milenial, pemilik nama lengkap Inayah Wulandari Wahid itu mengajak kepada generasi muda untuk belajar dari para pahlawan pendahulu, seperti dirinya belajar dari sang kakek buyut meski tidak langsung karena tidak pernah bertemu.

"Saya tahu tentang kakek buyut saya, ya sama dengan yang lain. Dari akses yang bisa diakses orang lain juga," ujarnya.

Inayah mengaku ada salah satu pesan mendiang kakek buyutnya KH Hasyim Asy'ari tentang demokrasi, yakni demokrasi bukan hanya tidak bertentangan dengan Islam, tetapi nilai-nilainya saling berjalan. "Jadi, bukan hanya tidak bertentangan atau bersilangan, tetapi bersalingan," kata cucu KH Wahid Hasyim tersebut.

Isye Salim, cucu KH Agus Salim juga menegaskan nasionalisme sang kakek dengan berbagai upayanya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. "Opa (KH Agus Salim) itu, selain dikenal sebagai penulis, pengajar, ulama, beliau juga mengarang satu lagu yang menunjukkan kecintaan beliau terhadap persatuan Indonesia dan Islam," katanya.

Isye pun menyempatkan menyanyikan lirik lagu berjudul "Mana Tanah Air Kita" yang dikarang oleh KH Agus Salim. "Mana Tanah Air Kita? Sumatrakah atau Jawa, Borneo, Celebes, Sumbawa, Ambon, Tanah Papua. Tidak begitu terpisah. Indonesia meliputi semuanya...," demikian sepenggal liriknya.

Melalui lagu tersebut, kata dia, setidaknya sudah cukup menunjukkan bagaimana rasa nasionalisme KH Agus Salim, sejalan dengan prinsip-prinsip keislaman yang dipegangnya secara teguh. Dalam webinar tersebut, hadir juga mantan Kepala BIN AM Hendropriyono sebagai peserta yang kemudian diminta menyampaikan sedikit paparan.

Hendropriyono mengingatkan Pancasila yang lahir dari kesepakatan pendahulu bangsa, terutama kalangan ulama atas pemikirannya Bung Karno menjadi warisan yang harus dijaga oleh generasi penerus. "Pancasila ini kemudian dijabarkan dalam UUD 1945. Warisan kan mestinya harus dipelihara, masa mau dibuang? Yang berubah itu cara atau strategi implementasinya, bagaimana pelihara dan manfaatkan untuk kemaslahatan kita," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement