REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Badan pengawas obat-obatan Uni Eropa (EMA) mengatakan serangan siber mengakses dokumen yang berkaitan dengan dokumen Covid-19. EMA mengatakan mereka telah bekerja sama dengan kepolisian untuk menggelar penyelidikan penuh mengenai serangan tersebut.
Pada Kamis (10/12) Euro News melaporkan EMA sedang mempertimbangkan untuk memberikan persetujuan pada vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Pfizer dan BioNTech serta vaksin dari perusahaan Amerika Serikat (AS) Moderna. Pelaku peretasan mengincar dokumen yang berkaitan dengan vaksin Pfizer dan BioNTech.
Pekan lalu Inggris sudah menyetujui vaksin tersebut dan mulai menggelar program vaksinasi massal. BioNTech mengatakan EMA sudah memberitahu mereka mengenai serangan siber tersebut.
"Sejumlah dokumen yang berkaitan dengan pengajuan persetujuan kandidat vaksin Covid-19 dari Pfizer dan BioNTech, BNT162B2, yang disimpan di server EMA telah diakses secara ilegal," kata BioNTech dalam pernyataan mereka.
"Tidak ada penyusupan ke sistem BioNTech dan Pfizer yang berhubungan dengan peristiwa ini dan kami tidak melihat ada data peserta penelitian yang teridentifikasi melalui data yang diakses," tambah BioNTech.
Mereka mengatakan EMA memastikan serangan siber itu tidak berdampak pada jadwal proses persetujuan. EMA diperkirakan sudah memutuskan apakah akan mendistribusikan vaksin Pfizer dan BioNTech atau tidak pada akhir bulan ini.
Sementara keputusan terhadap vaksin Moderna akan diputuskan pada awal Januari. Dalam pernyataannya singkatnya, EMA mengatakan mereka sedang meluncurkan penyelidikan penuh yang bekerja sama dengan penegak hukum dan entitas relevan lainnya.
"EMA tidak bisa memberikan detail tambahan saat penyelidikan sedang berlangsung," kata EMA.
Belum diketahui sebesar apa dampak serangan siber tersebut atau apakah ada data yang diambil. Berdasarkan peraturan Uni Eropa, vaksin baru harus dapat persetujuan dari EMA sebelum dapat didistribusikan di blok tersebut walaupun negara anggota dapat menggunakan prosedur kedaruratan untuk segera menyebarkan vaksin. Inggris menggunakan prosedur kedaruratan ini saat memulai program vaksinasi massal pekan ini.
Mulai akhir tahun 2020 Inggris resmi bukan lagi anggota Uni Eropa. Produsen vaksin lain seperti Rusia dan China belum mengontak EMA untuk mendistribusikan vaksin mereka di Eropa.
Menurut para ahli, dokumen semacam itu bisa sangat berharga bagi negara dan perusahaan lain yang terburu-buru ingin mengembangkan vaksin. Hal ini harus ditangani secara cepat dan ditelusuri siapa yang meretas data tersebut.
Pendiri Grup Relawan yang menangani pelanggaran terkait Covid-19, CTI-League, Marc Rogers mengatakan data yang diretas itu ada tentang informasi rahasia terkait vaksin dan mekanisme kerja, efisiensi, risiko, dan kemungkinan efek samping yang diketahui serta aspek unik apa pun seperti pedoman penanganan.
"Peretasan ini juga memberikan informasi rinci tentang pihak lain yang terlibat dalam pasokan dan distribusi vaksin serta berpotensi secara signifikan meningkatkan serangan terhadap vaksin," kata dia dikutip dari Channel News Asia.