Kamis 10 Dec 2020 13:58 WIB

Art Therapy, Terapi Psikologi yang tidak Menghakimi

Pandemi telah banyak mempengaruhi kondisi mental masyarakat.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Gita Amanda
Terapi seni, menjadi salah satu terapi psikologi yang tak menghakimi. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Desy Susilawati
Terapi seni, menjadi salah satu terapi psikologi yang tak menghakimi. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesehatan mental menjadi salah satu hal penting yang juga perlu dijaga di saat pandemi. Berbagai pembatasan aktivitas dapat mendorong tingkat stres yang semakin tinggi.

Pada masa pandemi, masyarakat mulai mencoba banyak kegiatan baru, umumnya kesenian maupun kerajinan tangan. Ini merupakan jenis terapi yang sudah sangat sering digunakan dalam dunia psikologi. Art therapy (terapi seni) telah menjadi metode terapi yang efektif untuk mengatasi stres serta gangguan psikologis.

Baca Juga

Menurut Art Therapist Mutia Ribowo dari ART+i Art Therapy Jakarta, kegiatan seni yang dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan tujuan untuk menghilangkan stres atau merasakan ketenangan, disebut 'art as therapy' atau 'therapeutic art'.

Beberapa contoh kegiatannya termasuk kegiatan seni dan kerajinan tangan seperti mewarnai, melukis, puisi, menyulam, merajut, seni keramik dan lain sebagainya. "Kalau art therapist atau psikolog berlisensi berada dalam lingkup kegiatan, maka disebut art therapy atau art psychotherapy," jelas Mutia.

Art psychotherapy adalah pendekatan psikologis menggunakan alat seni rupa untuk mencapai lebih dari meredakan stres atau ketenangan, tetapi untuk menemukan insight, mencapai katarsis, mengubah mindset, memproses kesedihan, trauma dan membantu menyembuhkan penyakit kejiwaan.

Menurut Mutia, selama pandemi ketertarikan masyarakat untuk self healing menjadi meningkat. Masyarakat yang menyukai kegiatan seni, banyak mengikuti komunitas seni rupa yang mengadakan acara-acara art workshop serta mengikuti art therapy workshop yang diadakan beberapa psikolog klinis atau art therapist.

Banyak juga yang melakukan terapi ke terapis profesional. Mutia mengungkapkan, selama pandemi ia banyak menangani klien-klien baru yang kebanyakan memiliki masalah perkawinan, KDRT, depresi, dan kehilangan.

Peningkatan klien di ART+i mencapai 30 persen untuk klien anak-anak, dan 40 persen untuk dewasa. Ini menunjukkan bahwa pandemi telah banyak mempengaruhi kondisi mental masyarakat. "Untuk klien- klien lama juga banyak yang relapse. Kondisi kejiwaan mereka menurun karena meningkatnya kecemasan dan tekanan dari pembatasan sosial," tutur Mutia.

Dosen Seni di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Art Therapist, Ardhana Riswarie menjelaskan bahwa metode terapi seni ini berbeda dengan tes psikologis menggambar yang umumnya digunakan oleh para psikolog. Psikolog akan memberikan diagnosis dari hasil karya, tetapi terapis tidak melakukan hal itu. "Terapi ini tidak menghakimi," kata Ardhana.

Di saat terapi, biasanya terapis akan menyediakan berbagai alat kerajinan tangan yang bisa dipilih oleh klien untuk dibuat. Saat terapi, mereka bisa membuat berbagai kerajinan tangan sambil curhat dengan terapis, ataupun hanya berkarya saja.

Metode ini dianggap efektif dalam gangguan psikologis, karena dapat membebaskan klien untuk berkarya dan menumbuhkan rasa percaya diri dengan mengapresiasi karya tersebut, bagaimanapun hasilnya. "Fungsi terapi disini memfasilitasi supaya mau hasilnya jelek atau bagus menurut dia, itu adalah sebuah karya yang bisa diapresiasi, sehingga semua karya yang dibuat bisa bermakna," jelas Ardhana.

Oleh karena itu, metode ini populer digunakan oleh kalangan anak-anak hingga remaja. Bahkan seringkali metode ini digunakan untuk menghibur anak-anak korban bencana, seperti yang pernah Ardhana dan timnya lakukan ketika bencana tsunami di Aceh, serta gempa di Lombok. Terapi ini juga banyak dilakukan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, seperti autisme.

Menurut Ardhana, terapi ini tidak selalu digunakan untuk mengatasi permasalahan psikologis sampai ke akarnya, seperti yang dilakukan oleh psikolog maupun psikiater. Biasanya, terapi seni hanya mengatasi permasalahan yang lebih urgensi.

Untuk anak-anak, umumnya menolak untuk ke sekolah, bisa karena dikucilkan atau dirundung. Terapi ini akan mendorong tingkat kepercayaan diri anak-anak atau remaja tersebut.

Akan tetapi, terapi seni sulit dilakukan secara virtual untuk anak-anak maupun remaja. Privasi sangat penting di saat terapi, tetapi anak-anak memerlukan pendamping di saat terapi virtual. Remaja pun tidak akan lebih leluasa jika melakukan terapi virtual di rumah.

 

"Kalau yang dewasa, biasanya ke kantornya, karena lebih private untuk terapi online."kata Ardhana.

Karena terapi ini tidak menghakimi, dan membebaskan individu untuk mengekspresikan diri seperti seniman, terapi ini dinilai sangat efektif untuk self-healing. Ardhana menyadari bahwa self-healing melalui seni ini memang semakin populer di masa pandemi, sehingga banyak workshop terapi seni yang diselenggarakan secara online akhir-akhir ini.

"Jadi bagaimana kita bisa living a meaningful life ya dengan berkaca ke seniman, bagaimana mereka dari gambar yang urek-urek nggak jelas, tapi ada maknanya. Seperti hidup kita, kesialan juga bisa punya makna berbeda kalau kita memandangnya berbeda," tutur Ardhana.

Terapi ini juga menjadi salah satu metode ini untuk penyembuhan gangguan kejiwaan. Menurut Psikiater dari RS Dr.H. Marzoeki Mahdi Bogor, dr.Lahargo Kembaren, metode terapi ini menjadi salah satu metode pendamping pengobatan pasien.

"Metode ini sudah clinically proven untuk pasien gangguan jiwa, tapi memang harus disertai pengobatan lainnya," kata dr. Lahargo. Ia pun menganjurkan masyarakat yang ingin self-healing mencoba terapi ini, terutama di masa pandemi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement